Kisah Kyai Pamungkas:
KUNTILANAK DIBAKAR MASSA!
BERITA KORAN MEGAPOLITAN POS PAGI ITU MENYENTAK JANTUNGKU. SALAH SATU ISI HEADLINE HARIAN ITU MENYEBUT, BAHWA TELAH TERTANGKAP SEORANG GADIS KUNTILANAK DI MALIMPING, BANTEN SELATAN DAN DIARAK KELILING KAMPUNG OLEH WARGA. BAHKAN KARENA BANYAK YANG KESAL, MAKA BANGSA KUNTILANAK ITU DIBAKAR HIDUP-HIDUP PAKAI BAN BEKAS. AKIBATNYA KUNTILANAK YANG BERAMBUT PANJANG ITU HANGUS TERBAKAR. NAMUN KARENA KEAMPUHANNYA, MAKA SANG KUNTILANAK TETAP HIDUP LALU DIPENJARAKAN DI GUDANG KANTOR KELURAHAN DALAM KEADAAN GOSONG. TUBUHNYA DIRANTAI DAN DIIKATKAN KE TIANG BESI KANTOR KEPALA DESA – BERINGIN KULON, SEBUTLAH BEGITU, AGAR TIDAK KABUR LALU MENGGANGGU . WARGA LAGI.
Oh Tuhan, batinku menjerit. Warga setempat pastilah salah menduga. Makhluk yang dibakar itu pasti bukanlah bangsa kuntilanak, tapi wanita sungguhan yang mungkin bisa saja menderita gangguan jiwa. Sebab belakangan, memang banyak wanita menderita gangguan jiwa. Bahasa sebenarnya adalah sudah menjadi gila. Mensiasati kasus musykil ini, hatiku meradang. Pikirku, aku harus segera ke sana membawa teman psikolog lain, yang mungkin bisa mententramkan warga dan mengajak dialog makhluk itu. Sudah menjadi tugas seorang psikolog mengupas hal-hal menyangkut perkara psikologi massa. Artinya, sudah menjadi amanah seorang psikolog untuk turun ke bawah membantu warga masyarakat yang salah jalan, salah kaprah dengan tidak bertentangan dengan norma-norma adat. Sudah menjadi tugas seorang psikolog untuk mensiasati sesuatu fenomena dengan bijak bestari, dengan pendekatan mumpuni jiwa, agar semua kasus musykil menjadi jelas, nyata dan dapat diterima akal sehat.
Karena belum punya mobil, aku dan Hendrawan, teman seprofesi, terpaksa naik motor besar Kawasaki Binter Mercy 700 cc built up produksi 1992 yang didatangkan langsung dari Jepang dua tahun lalu oleh papiku. Saat papi berdinas di konsulat jenderal Kedubes Indonesia di Tokyo, papi mendapatkan hadiah dari pemerintah Jepang sebagai tanda mata selama berdinas di negeri Sakura itu. Motor besar itu dikirim lewat pesawat kargo ke Bandara Halim Perdanakusumah bersamaan dengan motor-motor besar lain milik staf Konjen kedubes RI di beberapa negara di Asia. Yang mengatur pengiriman itu adalah Departemen Luar Negeri, tempat papi bernaung.
Dengan motor berkecepatan maksimal 250 km per-jam itu, aku dan Hendrawan berangkat ke Malimping. Karena aku wanita dan tubuhku kecil tak cukup kuat mengimbangi berat motor berbeban hampir setengah ton itu, maka tugas Hendrawan lah yang menyetir. Berat tubuh Hendrawan yang 88 kg dan tingginya 178 cm, sangat cocok menyetir motor gede yang biasa disebut Moge. Tapi lucunya, walau bertubuh tinggi besar, Hendrawan itu dari kampus dulu sudah kelihatan feminim. Dia memang tidak senang berpacaran dengan perempuan tapi berpacaran dengan laki-laki. Sosok Hendrawan itu persis sekali dengan artis selebriti Ivan Gunawan. bertubuh besar, perkasa tapi hati dan gayanya sangat kewanita-wanitaan. Bahkan terkadang melebihi kefemininan wanita nya sungguhan.
“Ya, memang saya banci, mau apa kamu?” bentak Hendrawan pada teman-teman kampus yang Iseng saat kami sama-sama kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Gajahmada di Bulaksumur Yogyakarta.
Kalau sudah naik darah seperti itu, semua teman-teman kuliah tidak berani menghadapi Hendrawan. Sebab dia pernah memukul cowok dari Fakultas Tehnik yang menggodanya, cowok itu sampai pingsan dan Hendrawan sempat dapat hukuman berat oleh pengadilan kampus.
“Walau pukulan saya ini tidak keras sekeras pejantan sejati, tapi bogem ini bisa juga melumpuhkan pencopet di bis yang mau menggerayangi dompet saya!” desis Hendrawan, sambil menunjukkan genggamannya padaku.
Memang, Hendrawan pernah pula memukul seorang pencopet di bis Malioboro Yogyakarta. Pencopet itu sempoyongan lalu terjatuh ke lobang pintu keluar masuk lalu terpental di trotoar. Tapi malang bagi Hendrawan, Sang Pencopet ternyata beraksi dengan tim, yaitu terdiri dari lima orang. Ada tukang umpan, tukang bola, mata-mata dan eksekutor. Sang eksekutor tumbang, sang petugas mata-mata, menghajar kepala Hendrawan dengan botol. Tapi anehnya Hendrawan tetap kuat, malah makin beringas mengejar empat copet lainnya. Sang Copet pun ketakutan hingga lari terbirit-birit lari masuk Jalan Pacinan dan menghilang ke Pasar Kembang.
“Saya sedang menimbang untuk menjadi pemimpin para banci dan gay. Sebab belakangan ini banyak banci dan gay diperlakukan kasar dan tidak adil. Nah saya akan melindungi mereka, bahkan akan siap perang melawan siapa saja yang melecehkan para banci-banci dan gay!” tekad Hendrawan.
Karena tubuhnya yang besar, maka perjalanan dengan Moge itu nyaman saja kami lakukan. Setelah melewati Kota Tangerang, kami berjalan melalui Balaraja, lalu masuk ke wilayah Kabupaten Serang kemudian berjalan melintasi Kota Cileles, Bojongmanik lalu sampai di Malimping, Banten Selatan. Begitu masuk Malimping, jam di tangan menunjuk angka 12, yang berarti kami sampai pada pukul 24.00 pas tengah malam. Sedangkan kami berangkat dari Jakarta, adalah pukul 18.30 habis sholat Maghrib.
Jam 12 menuju kantor kelurahan, rasanya tidak mungkin. Apalagi yang diurusi ini adalah kasus musykil yaitu masalah Kuntilanak. Yang ditakuti oleh kami bukan sosok kuntilanak nya, tapi yang ditakuti adalah amarah wargaSalah-salah, kami berdua dikira bos nya Si Kuntilanak yang mau membebaskan
Makhluk itu, lalu kami akan dikeroyok oleh warga dan dibakar hidup-hidup. Maklumlah, belakangan ini masyarakat Indonesia tiba-tiba menjadi sadis. Ada maling motor yang tertangkap, langsung digebuki massa lantas setelah itu dibakar dalam keadaan masih hidup seperti tikus got. Ada maling masuk rumah, tertangkap, lalu diadili di jalanan dan dibakar hiduphidup. Padahal, seharusnya, maling tersebut diserahkan polisi dan tugas aparatlah yang memenjarakannya setelah melalui proses peradilan negara.
Tapi sebagai psikolog saya menilai, bahwa hal itu terpaksa dilakukan warga karena warga sudah tidak percaya lagi pada polisi. Masyarakat sudah kehilangan kepercayaan kepada penegak hukum. Baik
itu polisi, jaksa maupun hakim di peradilan pemerintah. Berdasarkan pengalaman, bahwa selama ini banyak maling dan rampok yang meresahkan dan memuakkan masyarakat, ditangkap sebentar saja oleh aparat Jalu dikeluarkan lagi karena sogokan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa siapa saja yang punya dut, akan dapat membeli hukum itu. Semua bisa direkayasa dengan ragam alasan yang naif. Biasanya, kurang bukti material lah, kurang cukup bukti atau tidak ada saksi. Alasan inilah yang membuat aparat bisa leluasa melepas tahanan selama 3X 24jam.
Maka itu, pertimbangan warga, daripada dibawa ke kantor polisi nantinya bisa bebas, lebih baik dilakukan pengadilan jalanan. Hukum yang dibuat juga adalah hukum jalanan, yang salah harus dipersalahkan dan menerima akibatnya. Hukuman yang paling ramai dilakukan sat ini adalah membakar maling atau rampok dengan ban bekas. Dibakar hidup-hidup dan dibikin mati dalam keadaan hangus. Oh Tuhan!
Pada tengah malam itu mencari losmen ternyata tidak mudah. Apalagi di Malimping tidak banyak losmen.Maka itu, kami berdua mencari rumah makan yang buka 24 jam dan kami makan di situ lalu tidur duduk hingga pagi. Benar saja, kami rnenemukan rumah makan Sederhana, restoran Padang yang buka 24 Jam di Malimping Selatan. Setelah memesan dua nasi rendang dan teh manis panas, kami makan malam dan Ngobrol beberapa jam. Sekitar pukul 02.00. kami terlelap di meja pojok. Si Uda pelayan restoran mengijinkan kami tiduran di situ. Pukul 05.00 kami terbangun dan pergi ke kamar mandi. Kami lalu ambil wudhu dan numpang sholat dengan Uda. Kami diberi tempat sebuah kamar untuk sholat. Aku mengeluarkan mukenah di dalam ranselku dan memberikan sarung untuk Hendrawan. Kami pun sholat berjemaah dengan Hendrawan sebagai imamku. Hendrawan memang pintar mengaji karen ayahnya seorang kyai di Meranjang, Ogan Ilir, Sumsel itu. Dari sembilan anak Kyai Hgi Murkowi, hanya Hendrawan yang nyeleneh, yang menjadi banci. Padahal delapan lain saudaranya semuanya hidup normal. Memang kata orang pintar, setiap anak kyai besar, pastilah ada salah satu anak yang aneh. Kebetulan Hendrawan hanya gay, bukan rampok seperti anak kyai besar di Jakarta, yang juga narkoba dan buaya perempuan. Salah satu dari sekian banyak anak, pasti ada satu anak yang anti kemapanan, pasti ada yang mau lain dari saudaranya yang lain yang semuanya seragam. Karena anti kemapanan, maka Hendrawan menjadi gay, dia tidak mau dipaksa menikah dengan saudaranya oleh ayahnya, tapi malah memilih hidup sebagai banci. Ayahnya pun kini menyesal memaksa Hendrawan menikah, bahkan menyesal melakukan kekerasan masa kanak-kanak pada anaknya yang satu ini.
Habis sholat subuh, kami pesan kopi dan ketan bakar. Kebetulan rumah makan padang ini setiap bagi menjual makanan khas itu. Banyak pelanggan yang datang membeli di pagi buta itu. Pada salah seorang pelanggan wanita, saya bertanya tentang issue kuntilanak yang tertangkap dan dibakar warga. Wanita berusia 40an dan beranak tiga bernama Syakiah itu, menceritakan dengan antusias hal kuntilanak yang diarak warga. Ibu ini bahkan ikut menonton ke jalan raya saat diarak, bahkan sempat memotret makhluk itu dengan handphonenya. Karena penasaran, aku meminta ibu itu membuka gambar yang diambil dengan nama file, Kuntilanak Terbakar. Dengan semangat tinggi Bu Syakiah membuka HP nya dan berniat mempertunjukkan gamba perempuan terbakar yang sedang diarak Warga. File yang termaksud pun dibuka, lalu mata ibu itu melotot dan terbelalak kaget.
“Oh Tuhan, kok wajah perempuan cantik? Utuh lagi dengan busana yang lengkap dan modis banget seperti ini? Lha, ini kan foto Embak ini? Kok jadi begini? Tadinya gambar wanita gosong yang hitam legam karena terbakar. Kok gini ya?” kata Bu Syakiah, bingung tujuh keliling.
Aku dan Hendrawan langsung mendekatkan muka ke HP itu. Uda penjual nasi Padang juga mendekat penasaran, di mana dia sudah dengar berita itu walau belum melihatnya. Duh Gusti, foto di HP Bu Syakiah itu ternyata fotoku. Wajahku yang jelas terpampang,saat aku masih kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Gajahmada Yogyakarta. Foto itu menunjukkan aku yang sedang berpose di bawah pohon beringin di Istana Negara Yogyakarta. Memang, foto itu adalah fotoku dan aku pernah difoto di istana negara saat jalan-jalan ke Malioboro saat tahun pertama kost di Ngasem, Kraton Kidul.
“Kok bisa foto saya ada di HP ibu, kapan ibu mengkopi foto ini? Padahal saya baru kenal sama ibu. Kalau seandainya ibu secara diam-diam mengkopi dengan mengaktifkan bluetoot, tidak mungkin bisa, karena foto lama saya itu tidak ada di dalam HP saya!” desisku, penasaran.
Bu Syakiah geleng-geleng lagi, bahkan kali ini dia bersumpah. “Saya ini muslimah mbak, demi Allah, foto ini tadinya foto kuntilanak yang gosong itu, bukan foto mbak!” imbuhnya.
Lalu kami mencari-cari file lain, mungkin pindah file karena gangguan virus atau karena salah pencet. Tapi, tidak ada juga, sampai matahari terbit dan ketan ibu itu sampai dingin, foto kuntilanak yang dimaksud tidak ada juga.
Bu Syakiah terguncang hebat, dia lalu buru-buru mengajak kami ke rumahnya dan berjanji akan mengantarkan kami ke kantor kelurahan tempat di mana kuntilanak itu ditawan. Kami tetap dengan motor besar dan Bu Syakiah naik mobil Toyota Carry miliknya. Kami pun mengikuti Bu Syaklah dari belakang hingga sampai di rumahnya di Pakis Wetan. Sesampainya di rumah Bu Syakiah, suami Bu Syakiah sudah menunggu untuk sarapan pagi dan bersiap pergi ke kantornya di Dinas Pertanian Kabupaten Pandeglang. Bu Syakiah memperkenalkan suaminya pada kami dan suami Bu Syakiah sangat santun dan menyambut kami dengan baik.
“Hati-hati bertemu kuntilanak itu, sebab namanya makhluk gaib yang menampakkan diri, terkadang ada saja ulahnya yang mengejutkan dan membahayakan manusia!” kata Muzakir, suami Bu Syakiah kepada kami.
Bu Syakiah pun lalu menunjuk foto HP nya yang ajaib, di mana foto kuntilanak tiba-tiba berubah menjadi fotoku, padahal dia bersumpah tidak pernah mengkopinya. Bahkan foto itu tidak ada di HP ku.
“Nah, iya kan, apa kata saya. Namanya makhluk gaib itu Jain dengan manusia biasa. Ada saja ulahnya yang membingungkan dan mengacaukan akal sehat kita. Pokoknya saya berpesan, hati-hatilah di sana nanti!” desis Muzakir, sambil meleset kearah utara menuju kantornya di Pandeglang, sekita 60 km dari rumahnya di Malimping itu.
Sesampainya kami di kantor kelurahan jam sudah menunjuk di angka pukul 08.00 pagi. Sebagian orang kantor sudah masuk kerja. Lalu Encep Supena, 34, pemegang kunci gudang tempat kuntilanak diikat, membawa kami ke ruang belakang kantor itu.
“Astaghfirullah!” pekik pemegang kunci, Kang Encep Supena, terkaget. Arkian, ternyata kuntilanak yang diikat itu sudah tidak ada sama sekali.
“Dia menghilang, hanya tinggal rantainya saja di sini!” sergah Kang Encep Supena.
“Kemana dia perginya, dan bagaimana pula cara dia melepaskan diri dari rantai ini?” tanyanya, tak menuntut jawaban.
Pada saat kami semua bingung, tiba-tiba terdengar suara cekikikan dari atas pohon kecapi di belakang gudang. Kami semua keluar mencari sumber suara itu.
Oh Tuhan, seorang wanita cantik berbaju putih bercelana hitam, berambut panjang sebahu dan berkulit kuning langsat, bergelayutan seperti monyet di dahan kecapi paling atas. Gadis cantik yang dipastikan kuntilanak itu adalah sosokku. Dari warna baju, rambut, bentuk wajah dan kulitnya, semuanya persis aku. Semua orang yang ada di sana melihat sosok kuntilanak itu adalah sosokku.
“Kuntilanak itu menirukan sosok Mbak, dia tahu kalau mbak mau datang dan ia menyerupai mbak, sama persis dengan gambar di HP saya ini,” ungkap Bu Syakiah.
Aang dadah, 67 tahun, ahli penjinak jin ditelpon Kang Encep Supena dan dukun itu datang ke lokasi. Aang Dadah lalu membaca-baca mantra khas dan kuntilanak di pohon kecapi itu menjerit, menangis dan tersedu sedan. Lari tertawa, tiba-tiba terdiam lalu berganti menangis. Setelah seperempat jam Aang menangis tiba-tiba t dadah berkomat-kamit, tiba-tiba tangan Kuntilanak dikembangkan dia lalu terbang kearah selatan. Kuntilanak yang menyerupai sosokku itu pergi menghilang ke laut selatan.
“Dia kembali ke habitatnya di Pulau Dili!” kata Aang Dadah. Pulau Dili adalah pulau di tenah Samudera Hindia di laut Malimping. Di pulau tak berpenghuni manusia itulah ada ratusan kuntilanak berkembangbiak.
“Kuntilanak juga beranak dan mempunyai keturunan. Bahkan kuntilanak yang ditangkap warga adalah kuntilanak muda seumur dengan mbak ini. Maka itu dia bisa menyerupai mbak ini!” desis Aang Dadah.
Kenapa makhluk itu memilih rupaku, karena selama perjalanan, tubuhku dibuntuti oleh kuntilanak yang lain, saudara kembar dari kuntilanak yang tertangkap. Sedangkan foto yang dipilih di HP, kenapa foto di bawah pohon beringin Yogya, karena di pohon beringin Istana Negara itu adalah sarang kuntilanak, sarang kerluarga Asmara Dara, nama kuntilanak yang tertangkap dan dibakar warga.
Sebenarnya warga tidak menangkap, membakar dan merantai kuntilanak karena makhluk itu tidak bisa diperlakukan seperti makhluk lain, seperti hewan atau manusia. Yang dirantai adalah ujud palsu, bukan ujud sesungguhnya. Maka itu, kuntilank palsulah yang ditangkap. Sedangkan kuntilanak sesungguhnya, tak akan pernah bisa tertangkap hingga kiamat nanti. Kuntilanak yang baru saja dipenjarakan warga adalah kuntilanak yang tercuri selendangnya untuk ilmu hitam. Maka itu, hanya ruhnya yang dapat disiksa warga, bukan fisiknya. Maka itu, walau terlihat dia terbakar, padahal sebenarnya dia tidak pernah terbakar apalagi mati. Dia ada tapi tiada. Dia nampak gampang disentuh tapi tak pernah tersentuh.
“Orang yang ditiru oleh kuntilanak itu akan mumpuni dengan ilmu gaib kalau mau mengasah diri. Anda akan dapat mengisi ilmu penjinak kuntilanak itu jika anda mau, karena Anda sudah jadi bagian dari keluarga mereka! Bila mau, malam ini Anda akan diisi ilmu itu. Berkenan?” tanya Aang Dadah padaku.
Aku hanya diam mendengar tawaran ini. Aku belum atau sama sekali tidak terfikir untuk mendalami ilmu supramistik yang irasional. Bagiku, ilmu psikologi yang kupelajari selama ini, adalah yang utama, karena ilmu itu realistik dan kontekstual dalam hubungannya dengan masyarakat. Maka itu, kepada Aang Dadah, aku beterima kasih atas tawarannya dan aku tetap menekuni dunia psikologi hingga sekarang. (Kisah ini dialami oleh psikolog Sarita S.S. pada penulis). Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.
KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: susuk.online
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)