Cerita Featured Kisah Kyai Pamungkas

Panggonan Wingit: PAMUKSAN BRAWIJAYA DI AIR TERJUN RINGIN JENGGOT

Panggonan Wingit: PAMUKSAN BRAWIJAYA DI AIR TERJUN RINGIN JENGGOT

 

Di lokasi air terjun Ringin Jenggot tidak hanya air terjun saja, tetapi terdapat sebuah relief batu bertuliskan huruf arab yang artinya Alam karomah.

 

Selama ini para tokoh spiritual meyakini Gunung Lawu adalah pancer atau saka guru bumi Nusantara. Bagi masyarakat Jawa, mereka mengenal filsafat “Sak adoh adohe wong ngangsu kaweruh, bakale balik menyang lawu.” Peribahasa ini memiliki arti bahwa seberapa jauh orang menimba ilmu, ngilmu kaweruh, pada akhirnya mereka akan kembali ke Gunung Lawu.

 

Gunung Lawu tidak hanya menjadi simbol kejayaan peradaban Hindu di tanah Jawa, dengan banyaknya peninggalan situs-situs candi yang dibangun pada masa kejayaan Majapahit. Di dalam buku sastra Jawa yang berjudul “Serat Paramayoga” karya Ranggawarsita juga dikisahkan, Gunung Lawu menjadi titik awal Ajisaka ‘ngejawen’ menginjakan kaki di tanah Jawa, membangun peradaban bumi Nusantara di jaman kadewatan dengan nama Empu Sangkala.

 

Situs-situs candi di Gunung Lawu tidak hanya berupa situs peninggalan Prabu Brawijaya Pamungkas (semasa runtuhnya Majapahit oleh Demak), tetapi terdapat situs lain di masa peradaban Kediri dan kejayaan kerajaan Majapahit. Ditambah lagi dengan adanya situs-situs yang diyakini pernah ada di jaman kadewatan. Salah satunya adalah Sendang Hanantaboga di Demping, Jenawi. Konon menurut cerita, sendang tersebut merupakan satu-satunya sendang kadewatar Hanantaboga yang ada di bumi Nusantara.

 

Situs peninggalan kejayaaan Siwa Buda (agama Jawa kuno) dan Hindu Jawa banyak yang ditemukan di sekitar Gunung Lawu, seiring dengan maraknya beberapa lokasi petilasan dan peninggalan yang bermuncular di Gunung Lawu. Namun sampai saat ini, situs peninggalan Prabu Brawijaya V yang paling banyak ditemukan di Gunung Lawu.

 

Situs peninggalan tersebut menjadi saksi bisu runtuhnya kejayaan monarki Majapahit, sekaligus menjadi napak tilas pamuksan Brawijaya V saat hendak naik ke atas puncak Gunung Lawu.

 

Di tahun 2015 ini, salah satu peninggalan napak tilas pamuksan Prabu Brawijaya V ditemukan oleh penduduk desa di lereng Gunung Lawu, berupa air terjun yang diberi nama air terjun Ringin Jenggot pada pertengahan bulan April. Meski secara alami air terjun Ringin Jenggot adalah air terjun bentukan alam, tetapi air terjun ini memiliki kaitan benang merah dengan napak tilas laku pamuksan Prabu Brawijaya V, yang dimulai dari alas Ketonggo Ngawi.

 

Di lokasi air terjun Ringin Jenggot tidak hanya air terjun saja, tetapi terdapat sebuah relief batu bertuliskan huruf Arab yang artinya Alam karomah.

 

Untuk melihat lebih dekat penemuan air terjun yang berada di kawasan hutan perawar di lereng Gunung Lawu sisi sebelah utara, penulis secara khusus menjelajah lebatnya hutan Gunung Lawu, menjelajah tempat yang pernah menjadi persinggahan Prabu Brawijayz V, yang disebut oleh penduduk sekitar dengan jalur pamuksan Prabu Brawijaya.

 

Berangkat dari kota Solo kurang lebih pukul 08.00 WIB, penulis harus menempuh perjalanan sejauh 70 KM menuju ke arah Desa Anggrasmanis, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Kecamatan Jenawi merupakan batas wilayah antara Kabupaten Karanganyar dan Sragen, sekaligus perbatasan wilayah propinsi antara Jawa Tengah dengan Ngawi Jawa Timur.

 

Namun sebelum perjalanan menyusuri lebatnya hutan Gunung Lawu dilakukan, terlebih dulu penulis berkunjung ke Kantor Dinas Pariwisata Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar, untuk mencari informasi rute perjalanan yang harus ditempuh menuju ke lokasi air terjun.

 

Dari Kepala Dinas Pengembangan pariwisata dan Budaya Pemkab Karanganyar, Surono, diperoleh informasi, jalur tempuh yang paling dekat untuk bisa dilewati yaitu melalui rute dari arah Candi Cetho. Sedangkan rute lain yang bisa ditempuh dengan cara memutar yakni melalui kota Kecamatan Jenawi, yang lebih jauh 5 KM jika dibandingkan rute dari arah Candi Cetho.

 

Menurut Keterangan Surono, air terjun Ringin Jenggot ditemukan oleh penduduk desa pada bulan April tahun 2015. Keberadaan air terjun tersebut memang sudah sejak jaman dulu diketahui oleh warga, namun secara khusus memang tidak dibuka untuk umum. Karena letak air terjun yang berada disebuah lembah, diapit oleh tebing setinggi ratusan meter di dalam hutan yang masih perawan. Sehingga tidak dimungkinkan dibuka untuk umum sebagai aset pariwisata daerah.

 

Namun oleh Kepala Desa Anggrasmanis yang berkeinginan membuka air terjun Ringin Jenggot sebagai aset pariwisata desa setempat, diharap kedepan mampu menambah nilai ekonomi bagi Desa Anggrasmanis dari sektor pariwisata, dan secara umum pengembangan sektor pariwisata bagi Pemkab Karanganyar.

 

Oleh karena itu menurut Surono, lantas dilakukan beberapa kajian dari dinas beserta para perangkat desa, warga masyarakat Anggrasmanis, para tokoh sesepuh desa, perihal infrastruktur akses jalan yang harus dibuat, serta beberapa kajian lainnya seputar Ringin Jenggot.

 

Dari hasil rapat akhirnya disepakati, warga bergotong royong membuat akses jalan masuk ke air terjun Ringin Jenggot, dengan dana pengajuan anggaran dari APBD Kabupaten Karanganyar tahun 2015/2016. Sementara Itu untuk mempermudah akses Jalan masuk, jalan darurat dibuat oleh penduduk sekitar dengan cara bergotong royong memangkas tebing gunung. Jalan darurat ini menjadi akses sementara, sampai disetujuinya pengajuan anggaran dalam APBD Kabupaten Karanganyar.

 

Pertemuan yang dilakukan oleh Surono bersama dengan para tokoh Desa Anggrasmanis tidak hanya berkutat pada rencana pengembangan aset wisata air terjun | Ringing Jenggot, tetapinama kawasan yang diberinama Jalur Pamuksan Prabu Brawijaya V ini diberikan, berdasarkan benang merah beberapa situs peninggalan yang ada di sekitarnya, serta kajian secara spiritual antara Surono dengan pendeta Hindu setempat yang dianggap sebagai sesepuh desa.

 

“Jalan setapak ke air terjun Ringin Jenggot dari sisi spiritual, nama Jalur Pamuksan Brawijaya diambil setelah melalui proses meditasi yang dilakukan oleh pemangku pura Demping yang biasa dipanggil Mangku Jito,” terang Kepala Pengembangan Pariwisata Dan Budaya Pemerintah Kabupaten Karanganyar kepada penulis.

 

Lebih lanjut dikatakan oleh Surono, dalam rapat dengan penduduk desa setempat, Surono memaparkan keterkaitan benang merah antara air terjun Ringin Jenggot dengan puncak Lawu. Oleh karena itu, Surono lantas mencetuskan ide pemberian nama Ringin Jenggot menjadi Jalur muksa Prabu Brawijaya. Mengingat secara histori titik awal beliau muksa diawali di Alas Ketonggo dengan melepas seluruh ageman raja beralih menjadi seorang brahmana, lantas menapaki laku pamuksan naik ke atas puncak Gunung Lawu.

 

Air Terjun Ringin Jenggot selama ini tak pernah banyak orang yang mengetahuinya. Letak obyek wisata air terjun Ringin Jenggot yang berada di jalur antara Candi Cetho dengan Alas Ketonggo, sehingga pemberian nama ‘Jalur Muksa Prabu Brawijaya’ akhirnya dimunculkan oleh Surono. Nama Jalur muksa Prabu Brawijaya akhirnya disepakati oleh penduduk desa, tokoh sesepuh desa dan para perangkat desa, dengan mengganti kata muksa menjadi pamuksan. Pergantian nama dilakukan setelah Mangku Jito yang dikenal sebagai tokoh sesepuh desa melakukan meditasi memohon petunjuk pemberian nama kawasan Ringin Jenggot, dan diperoleh wisik kata pamuksan.

 

Hal ini juga didasar atas dasar kata muksa dan pamuksan berlainan. Jalur pamuksan adalah sebuah perjalanan panjang menuju kearah muksa, keabadian sejati. Oleh karena itu jalur pamuksan sangat tepat menjadi nama kawasan Ringin Jenggot.

 

Selama ini rute pendakian Candi Cetho memang diyakini menjadi rute Prabu Brawijaya naik ke atas puncak Hargodalem Gunung Lawu, namun keterkaitan benang merah antara Candi Cetha dengan Alas Ketonggo masih samar. Sehingga dengan ditemukanya kawasan Ringin Jenggot tersebut, benang merah itu akhirnya menjadi tersambung.

 

Dikuatkan lagi dengan adanya situs batu yang bertuliskan huruf arab Al Karomah di Ringin Jenggot semakin menguatkan dugaan, kawasan tersebut sangat erat kaitanya dengar napak laku pamuksan Prabu Brawijaya. Papar Surono, Kepala Dinas Pengembangan Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karanganyar kepada penulis. Setelan memperoleh penjelasan panjang penulis kemudian pamit melanjutkan kembali perjalanan menuju ke lokasi air terjun Ringin Jenggot yang terletak di Desa Anggrasmanis, kurang lebih 40 KM dari Kabupaten Karanganyar.

 

Sebelumnya kepada penulis Surono berpesan, agar lebih dulu menemui Mangku Jito sebelum menuju ke lokasi terjun Ringin Jenggot. Karena sesepuh itu nantinya bisa memberikan keterangan, memaparkan apa saja soal air terjun Ringin Jenggot.

 

Tak lama setelah menempuh medar perjalanan yang cukup berat dari arah Cetho, penulis akhirnya sampai juga di rumah Mangku Jito, Dusun Demping, Anggrasmanis, Kabupaten Karanganyar. Tokoh sesepuh desa yang merangkap sebagai pendeta Hindu ini terlihat masih belum tua, usianya sekitar 60-an tahun. Tubuhnya masih terlihat kekar dan murah senyum, dengan memakai gelang tridatu menjadi ciri khas gelang umat Hindu.

 

Dusun Majapahit

 

Dari Mangku Jito penulis memperole pemaparan, bahwa Dusun Demping, Desa Anggrasmanis telah diresmikan oleh Bupati Karanganyar sebagai kawasan kampung wisata. Di dusun ini mayoritas penduduknya adalah umat Hindu. Oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak ditemui tempat pemujaaan di depan rumah milik penduduk asli, sehingga dusun ini dijuluki Majapahit. Pemberian nama ini atas inisiatif para mahasiswa menjalani tugas KKN di Dusun karena melihat aktifitas keseharian warga desa.

 

Dalam keseharian, aktifitas masih sangat lekat dengan tradisi lama. Tidak hanya dalam berdoa dan berucap, panen ataupun masa bercocok tanam, dalam segala hal, mereka seperti di jaman Majapahit.

 

Tetapi dari seluruh aktifitas penduduk desa yang dianggap masih sakral dan kuno, ada satu tradisi unik yang hingga sekarang ini masih tetap terus dipertahankan oleh penduduk desa, yaitu digelarnya pasar tinthir tiap 210 hari sekali. Tradisi pasar tinthir dilakukan bertepatan pada Wuku Wayang dalam hitungan kalender Tahun Saka, yang digelar pada malam Selasa Legi.

 

Pengambilan hari Selasa Legi menurut Mangku Jito, tak lepas dari makna Desa Anggrasmanis yang berarti Selasa Legi. Nama Anggrasmanis sebenarnya berasal kata Anggara Manis (Selasa Legi), oleh karena itu tradisi pasar tinthir digelar dalam rangka ucap syukur kepada alam sekitar. Sedangkan thintit adalah alat penerangan pada jaman dahulu yang digunakan oleh penduduk desa, dengan bahan bakar yang berasal dari getah damar atau minyak tanah. Tetapi dengan adanya kelangkaan minyak tanah di pasaran, bahan bakar minyak tanah lantas diganti dengan menggunakan solar.

 

Di sepanjang jalan desa diseluruh dusun, penerangan listrik dimatikan sejak pukul 18.00WIB, diganti dengan memakai penerangan lampu tinthir. Pada malam tradisi pasar tinthir, penduduk desa menggelar dagangan berupa makanan khas jawa kuno yang menggunakan bahan baku alami tanpa pembungkus plastik, serta kebutuhan pokok sehari-hari yang dijual hingga selesainya acat pasar tinthir.

 

“Tradisi ini bukan sekedar perayaan tradisi biasa, namun terdapat pesan yang disampaikan di dalamnya. Agar manusia senantiasa menghargai alam dan lingkungat sekitar, juga memaknai tinthir sebagai alat penerang kegelapan. Meski hanya setitik sinar, tetapi mampu membuka kegelapan. Kegelapan yang dimaksud adalah kegelapan hati, yang selama ini semakin menutupi nurani umat manusia,” kata Mangku Jito.

 

Setelah memperoleh penjelasan panjang lebar dari Mangku Jito tentang Dusun Majapahit, yang menjadi bagian dari Jalur Pamuksan Prabu Brawijaya V, Misteri kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke lokasi air terjun Ringin Jenggot. Dengan diantar oleh Hendra dan Agus, dua orang yang ditunjuk Mangku Jito sebagai pemandu perjalanan, akhirnya sampailah rombongan di air terjun Ringin Jenggot.

 

Infrastruktur jalan yang harus dilewati memang nampak baru saja dibuat oleh penduduk desa. Jalan yang semula hanya bisa dilewati para perambah hutan, sekarang diperlebar sekitar satu meter. Tetapi tidak semua akses jalan bisa dilewati dengan nyaman, karena di beberapa bagian terlihat akses jalan yang menuju ke air terjun Ringin Jenggot, harus melewati tebing curam dan licin di dalam hutan yang masih perawan.

 

Tak selang lama setelah menyususri jalan setapak sejauh kurang lebih satu kilometer, sampailah rombongan di sebuah air terjun yang diapit oleh tebing setinggi ratusan meter. Di kiri kanan air terjun Ringin Jenggot dipenuhi lebatnya tumbuhan rimba Gunung Lawu.

 

Jumog Angin-Angin

 

Pemberaian nama Ringin Jenggot sebenarnya memang menjadi sedikit persoalan antara Mangku Jito dengan Kepala Desa Anggrasmanis. Sebagai seorang tokoh desa setempat, Mangku Jito menyarankan agar nama air terjun tersebut adalah Jumog angin-angin (air terjun angin-angin). Mengingat kondisi air terjun yang terjepit diantara dua tebing, saat air turun ke bawah mampu menimbulkan angin vang sangat kuat, maka akan lebih cocok diberi nama Jumog angin-angin.

 

Tetapi setelah dilakukan rembug warga, akhirnya disepakati bersama pemberian nama dengan memakai nama air terjun Ringin Jenggot.

 

Ketinggian air terjun Ringin Jenggot memang tidak seberapa tinggi, hanya sekitar 10 meter. Jika dibandingkan dengan air terjun lain yang ada di kawasan obyek wisata di sekitar Gunung Lawu, air terjun Ringin Jenggot paling rendah ketinggianya. Tetapi yang membuat air terjun Ringin Jenggot istimewa, dikarenakan kawasan ini diyakini sebagai Jalu Pamuksan Prabu Brawijaya V.

 

Menurut keterangan penduduk desa sekitar, nama Ringin Jenggot sebenarnya diambil karena keberadaan sebuah pohon beringin tua yang tumbuh tak jauh dari air terjun. Ringin Jenggot adalah pohon beringin putih yang telah berumur ratusan tahun. Karena banyak akar yang menggantung di pohon menyerupai bentuk jenggot, maka pohon beringin tersebut dijuluki dengan nama Ringin Jenggot. Di bawah pohon beringin terdapat sumber mata air, yang menjadi aliran utama air terjun Ringin Jenggot.

 

Tetapi lokasi pohon beringin ini berada jauh di dalam hutan, dengan kondisi letak geografis tebing gunung yang sangat curam. Mereka yang pernah menginjakan kaki di Ringin Jenggot paling hanya orang tua dulu, yang biasa merambah hutan hingga ke kawasan Ringin Jenggot.

 

Tak jauh dari air terjun terdapat batu bertuliskan huruf arab dipahat dengan tangan yang diartikan adalah Al Karomah. Batu ini berada di bawah sebuah pohon di tepi sungai. Selain pahatan huruf arab, diatas tulisan Al Karomah terdapat tanda panah naik ke atas tebing Gunung Lawu. Tanda panah tersebut seakan-akan sebuah pesan arah yang harus diikuti kemana arah tujuanya.

 

Arti Al Karomah diyakini oleh penduduk sekitar sebagai alam keabadian atau pelanggengan. Yang jika diartikan adalah sebuah pesan perjalanan abadi yang harus dituju kemana arah dan tujuanya. Tak diketahui secara pasti siapa orangnya yang memahat huruf arab di atas batu tersebut. Pahatan sedalam kurang lebih 1cm kedalam batu, tidaklah mungkin jika dilakukan oleh orang biasa, karena bekas tulisan terlihat seperti hanya dicorat-coret saja, tetapi mampu mengurat sedemikian dalamnya di atas batu.

 

Selain itu, dari sekian banyak situs peninggalan di Gunung Lawu, sudah bisa dipastikan hampir semuanya adalah peninggalan Hindu. Sedangkan batu yang ada di Ringin Jenggot bertuliskan huruf Arab. Namun apabila batu itu bisa diteliti oleh pihak terkait dari Dinas Purbakala, tidak dimungkinkan akan terkuak tabir asal mula tulisan Al Karomah di Jalur Pamuksan Prabu Brawijaya.

 

Desa Teratas di Gunung Lawu

 

Menurut pengakuan Supadi, salah seoran, penduduk Desa Watu Bonang yang pernah menjalani laku ritual di Ringin Jenggot juga membenarkan keberadaan pohon beringin putih tersebut. Bahkan bersama dengan beberapa orang warga lainya, pada tahun 1967 Supadi pernah menjalani laku ritual di Ringin Jenggot. Kawasan Ringin Jenggot memang sejak dulu dikenal sangat angker. Bagi penduduk desa, kawasan itu diyakini adalah tempat bersemayamnya para bangsa gaib di Gunung Lawu.

 

“Di sisi sebelah utara tak jauh dari Ringin Jenggot, dulu pernah ada sebuah desa yang bernama Desa Brak Seng, tetapi sekarang desa tersebut sudah hilang. Desa ini adalah desa yang terdekat dengan puncak Lawu,” kata Supadi.

 

Menurut pengakuan simbah simbah dulu tambah Supadi, Desa Brakseng dihuni oleh orang-orang Majapahit yang melarikan diri karena perang.

 

Keberadaan Ringin Jenggot yang memiliki benang merah jejak pelarian Prabu Brawijaya dari Alas Ketonggo ke puncak Lawu, maka tidaklah salah, jika kawasan Ringin Jenggot menjadi Jalur Pamuksan Prabu Brawijaya. Jalur pamuksan ini melewati rute pendakian ke atas puncak Lawu dari arah Candi Cetho, dengan jarak tempuh hanya sekitar 4 jam saja. Lebih dekat tiga jam jika dibandingkan harus melawati rute pendakian dari Cemara Kandang.

 

Di sepanjang jalur pamuksan ini banyak dijumpai situs situs peninggalan Majapahit, diantaranya adalah Candi Cetho, Candi Kethekserta petilsan-petilasan lainya berupa sumber Mata air ataupun relef arca. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: susuk.online
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Mitos di Zaman Kekinian

adminruqyah

Ijazah Kyai Pamungkas: Pagar dari Santet, Silahkan Diamalkan

adminruqyah

Ngaji Psikologi Bersama Kyai Pamungkas: TUHAN SELALU TERPUJI

KyaiPamungkas
error: Content is protected !!