Ijazah: MANTRA PENAHLUK LAWAN
Teriakan penuh emosi dan kepungan yang demikia rapat, perlahan tetapi pasti, menyibak seolah hend memberikan jalan yang seluas-luasnya bagi Ali untul melintas…
Sebagaimana galibnya pemuda yang berasal dari Ranah Minang, Ali, 23 tahun, juga sengaja merantau ke Jakarta untuk mencari pengalaman sekaligus peruntungan. Berbekal uang sekadarnya, ia pun membuka lapak di pinggiran pasar yang merupakan sentra mainan yang cukup terkenal di belantara Jakarta. Keuletan, kesantunan, kejujuran dan keberaniannya, membuatnya dalam waktu dekat telah memiliki banyak sahabat. Beberana di antaranva adalah pemilik toko-toko besar, tempat ia mengambil dagangan. Salah satunya adalah Om Awi, WNI keturunan.
Hubungan antara Ali dengan Om Awi, kian hari kian bertambah erat. Bahkan, Om Awi tidak segan menitipkan toko atau rumahnya jika ia dan keluarganya hendak ke luar kota untuk suatu keperluan. Oleh sebab itu, diam-diam, banyak orang yang iri dengan peruntungan Ali. Ali bukan tidak tahu, ia amat mafhum dengan keadaan itu. Namun, ia telah berjanji dalam hati untuk tidak mau mencari musuh. Menurutnya, seribu sahabat masih kurang, sementara, satu musuh sungguh amat terlalu banyak…
Sejatinya, kedekatan Om Awi dengan Ali tergolong sangat wajar. Betapa tidak, Ali yang bertubuh biasa-biasa saja, ternyata mampu menghalau belasan preman yang biasa memalak para pedagang kecil itu. Sekali ini, kelompok berendalan itu kena batunya. Ketika mereka siap akan memukul seorang lelaki paruh baya yang tidak memberi uang seperti yang diharapkan, tiba-tiba, terdengar suara Ali mencegah.
“Berhenti … jangan pukul, atau kalian akan menanggung segala akibatnya!”
Ali pun melangkah dengan pasti mendatangi belasan preman yang tampaknya sudah mabuk itu. Aneh … alih-alih langsung mengeroyok, semua preman itu langsung diam dan menunduk seolah ketakutan.
“Tolong abang-abang jangan ganggu kami lagi. Sekarang, lebih baik abangabang pulang,” kata Ali.
Salah seorang preman yang paling ditakuti itu, dengan gemetar maju selangkah dan berkata: “Maapin ya … kite enggak tau.”
Ali pun mengangguk sambil mengulurkan tangannya. Keduanya berjabatan tangan dengan erat sambil saling tatap penuh rasa persahabatan. Boleh dikata, detik itu, tak ada lagi rasa ingin mengganggu di hati para preman itu.
Kejadian itu, sudah barang tentu menjadi buah bibir seluruh pedagang pasar yang melihatnya. Apa lagi, sejak itu, para preman tak pernah lagi datang untuk memalak.
“Wah … kalau begini terus, untung kita lumayan,” demikian kata Arsil.
Amran, Ujang dan Abu pun tersenyum sambil menanggapi.
“Kalau lah dari dulu ada Ali, mungkin Uda Amri tidak pindah dari sini.”
“Sayangnya, Uda Amri pengecut. Bukan enggan untuk melawan, tetapi ia memang tidak punya nyali,” kata Ujang dengan nada sengit.
Maklum, ketika itu, ia benar-benar melihat dengan mata kepala sendiri, betapa ketakutannya Uda Amri ketika didatangi oleh belasan preman yang biasa mangkal di tengah-tengah pasar itu. Yang lain mengangguk tanda setuju. Tak ada yang bisa menepis, sejak peristiwa itu, para preman pun jadi semakin kasar dan berani bertindak semena-mena karena merasa tak ada seorang pun yang berani terhadap mereka.
Waktu terus berjalan, namun, sikap Ali tak juga berubah. Ia tetap Ali yang santun, ramah, rajin bekerja, ringan tangan dan jujur. Inilah yang membuat kenapa hampir seluruh pedagang di pasar itu merasa segan kepadanya.
“Kalau bukan Ali, mungkin, cuma tokohnya yang berbeda, tapi, kelakuannya sama. Kita harus bayar uang jago antara sepuluh sampai dua puluh ribu sehari,” kata Om Abun, salah seorang pemilik kios yang ada di depan kios Om Awi.
“Benar,” kata Om Awi menimpali, “mudah-mudahan kelakuannya enggak berubah,” tambahnya lagi.
“Kita liat aja,” timpal Om Abun, “menurut gua, bagaimana kalo Ali kita kasih modal, biar dia enggak pindah ke tempat laen,” tambahnya.
“Kita jadi aman,” potong Om Awi.
“Bener,” kata Om Abun sambil tertawa lebar.
Om Awi mengangguk-angguk tanda mengerti. Siangnya, kedua sahabat itu sengaja menemui Ali yang sedang makan siang di salah satu rumah makan padang langganannya. Tanpa basa-basi, Om Awi dan Om Abun pun langsung pula ikut makan bersama.
Di tengah-tengah itu, terdengar suara Om Abun, “Li, gua gak bisa basa-basi. Kalo butuh modal berupa barang dagangan, ambil aja di toko gua. Bayarnya kalo dah laku.”
“Makasih Om, saya masih ngumpulin modal buat uang mukanya,” kata Ali sambi tersenyum.
“Gak perlu. Kita saling percaya aja,” potong Om Awi.
“Bener tuh,” sambung Om Abun.
“Kalo terbuka, kita jadi sama-sama enak,” tambahnya lagi.
Ali hanya bisa menatap keduanya dengan penuh rasa terima kasih.
“Kalau bisa, cari lagi dua atau tiga orang. Ali yang ngatur, biar kita sama-sama untung,” tambah Om Abun dengan nada serius.
Ali tergugu. Tak lama kemudian, ia pun menyahut dengan penuh kehati-hatian.
“Om Awi, Om Abun, terima kasih. Saya akan menjaga kepercayaan ini dengan sebaik-baiknya, soal teman lain, nanti saya carikan.”
“Bukan karena saya mau maju sendiri, tapi, saya takut Om Awi dan Om Abun kecewa,” lanjutnya hati-hati.
Om Awi dan Om Abun pun saling berpandangan. Tak hanya keduanya, Uda Yusran, sang pemilik rumah makan hanya menarik napas panjang. Ia bisa merasakan tanggung jawab yang bakal dipikul Ali, jika teman yang ditunjuk, ternyata tidak amanah. Ternyata, Ali benarbenar berhati-hati dalam memilih. Ia tidak mau menggunakan kesempatan dalam kesempitan.
Dan sejak itu, dagangan Ali pun semakin lengkap. Bahkan, menginjak tahun kedua, ia sudah bisa mengontrak sebuah kios. Walau kehidupannya sudah mulai berubah, ia tetap seperti Ali yang dahulu. Tidak berubah sama sekali. Inilah yang membuat kenapa Om Awi dan Om Abun semakin . percaya, bahkan, keduanya dengan suka Cita mengangkat Ali sebagai saudaranya.
Pada suatu hari, Ujang, salah seorang sahabatnya sengaja datang untuk mengetahui kenapa Ali begitu disegani oleh seluruh pedagang pasar, bahkan, | ditakuti oleh para preman itu.
Dengan senyum, Ali pun menjawab: “Tiap hendak keluar rumah, aku selalu membaca jampi yang diwariskan oleh Uda Sirin.”
“Boleh aku turut mengamalkannya?” Tanya Ujang dengan penuh harap.
“Kalau mau, silakan,” jawab Ali mantap.
“Tapi, kita tidak boleh takabur atau sombong pada sesama. Gunakan ilmu padi, kian berisi, Kian merunduk,” imbuhnya.
Setelah Ujang menyatakan setuju, dan berjanji untuk tidak menggunakan ilmu itu di jalan yang sesat, Ali pun memintanya untuk menuliskan jampi penggentar lawan:
Qul kato Allah,
Ana kato Muhammad,
seperti kato Bagindo Rasulullah,
Air nua hati rangkungan aku,
Ya bani saribani,
Paku runduak paku urano,
Paku erang rang galahan,
Tunduak sakalian urano,
Aku surang mengalahkan.
“Baca jampi tersebut ketika akan keluar rumah, dan waktu menghadapi lawan,” ujar Ali.
“Ketika akan membaca, rapatkan kedua telapak tangan. Sesudah terbaca, lalu, sapukan kedua telapak tangan ke wajah dan seluruh tubuh.”
“Pantangannya, jangan sekali-kali melangkahi tali kekang kuda,” tambah Ali. Ujang mengangguk tanda mengerti.
Dan sejak itu, ia pun dengan tekun mengamalkan Jampi Penggentar Lawan.
Ya … menurut Ali, Jampi Penggentar Lawan baru akan menyatu dengan si pengamalnya jika terus dibaca dengan tekun dan penuh keyakinan bahwa Allah pasti akan memberikan kekuatan kepada para hamba yang selalu memintas kepadaNya. Bukan kepada yang lain. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: susuk.online
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)