Cerita Featured Kisah Kyai Pamungkas Uncategorised Uncategorized

Kisah Kyai Pamungkas: LIMA TENTARA DARI ALAM KUBUR

Kisah Kyai Pamungkas:

LIMA TENTARA DARI ALAM KUBUR

 

PADA MALAM JUMAT TANGGAL 13 MARET YANG GELAP GULITA, ANGIN BERHEMBUS KENCANG YANG DATANG DARI DAERAH PEGUNUNGAN MUTIS. BURUNG-BURUNG GAGAK HITAM BERSELIWERAN DI ATAS RUMAH KAMI. BEBERAPA SAAT KEMUDIAN, KILAT KELAP MENGKILAP MEMECAH KEGELAPAN DI SISI TIMUR DESA EBAN. PEPOHONAN ANGSANA BERGOYANG HEBAT. DEDAUNAN YANG KERING BERTERBANGAN MENYAMPAH HALAMAN RUMAH KAMI. SUARA RANTING PATAH DAN DAHAN YANG SUDAH RAPUH, SALING BERGESEKAN MELAHIRKAN SUARA MUSIK AVANT GARDE. SUARA INSTRUMENTALIA ALAMI ITU TERASA MENYESAKKAN JANTUNG KAMI. ADA SEGUMPAL GUNDAH GULANA YANG MENGGANTUNG DI KEDALAMAN BATIN KAMI. OH TUHAN, RASANYA MALAM ITU ADALAH MALAM YANG SUNYI DAN TERAMAT WINGIT. KESERAMAN PETANG ITU MEMANG MENJADI PERTANDA GAIB, BAHWA DI PERTENGAHAN MALAM, KAMI KEDATANGAN LIMA TAMU TENTARA YANG MEMBANGKANG DARI TUGAS. MEREKA BERNAMA JOKO, HARDI, SUMARDI, OTTO DAN TUMIJO. SEMUANYA MENGAKU TERANCAM DAN TERPAKSA MELAKUKAN TINDAKAN DISERSI. MEREKA BERWAJAH TAMPAN, BERKULIT KUNING DAN BERSUARA BARITON. KE LIMA TENTARA ITU MENGAKU SEBAGAI TENTARA PERBATASAN ANTARA INDONESIA DAN TIMOR LESTE. YAITU MENJAGA WILAYAH KEPAMANANU DI NTT DAN OESILO TIMOR LESTE.

 

Begitu pensiun sebagai tentara, Mas Heru membangun rumah serderhana di dekat pemakaman tentara di Port Nolloth, Afrika Selatan. Kami sekeluarga bertekad meninggalkan Indonesia dan mencari peruntungan di negeri Nelson Mandela itu demi masa depan yang lebih baik. Dengan Semangat baja, Mas Heru berkeyakinan, bahwa dalam membuka usaha garmen khusus seragam militer di Cape Town, akan lebih baik tinimbang buka usaha garmen di Jakarta yang penuh KKN dan birokrasi berbelit yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi.

 

Semua seragam dan perlengkapan militer di Afsel, dikuasai oleh pemerintah dengan membuka akses seluas-luasnya bagi swasta untuk ikut tender. Mas Heru yang mendapat visa istimewa dan menjadi warganegara kehormatan di Afrika Selatan, memenangkan tender seragam militer itu. Usaha kami begitu besar dan kesuksesan kami rengkuh hanya dalam waktu dua tahun. Dari hasil berbisnis di Afrika Selatan, Mas Heru membeli lima hektar tanah di Kapan, di kaki Gunung Molo yang berketinggian 1636 dpl di arah timur laut kota Kupang, Nusa Tenggara Barat. Di daerah itu kami membangun pabrik garmen besar dengan melibatkan tenaga kerja warga setempat. Selain menolong bangsa sendiri dalam segi kesempatan kerja, Mas Heru juga bercita-cita sejak lama ingin bermukim di Gunung Molo bila kelak sudah kembali ke Indonesia. Hasil pabrik garmen dari NTT ini, kami pasarkan di seluruh wilayah Afrika. Mulai dari Angola, Zambia, Kamerun, Nigeria, Mali, Pantai Gading dan Afrika Selatan sendiri.

 

Ibarat pepatah, seenak-enak hujan emas di negeri orang tapi masih lebih baik dan lebih enak hujan batu di negeri sendiri, demikianlah adap yang dipegang oleh Mas Heru. Setelah sekian lama di Afsel dengan segala gerinjangnya, Mas Heru akhirnya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Apalagi setelah kami mendapat orang kepercayaan dari bangsa Afrika Selatan sendiri yaitu Hansong Gueria, yang sangat jujur dan cekatan menangani usaha, maka Mas Heru memutuskan pindah total ke Indonesia pada tahun 2006 yang lalu. Tepat tanggal 23 Oktober 2006 kami bermukim di Eban, pas di kaki Gunung Mutis (2427 dpl) yang berbatasan dengan Timor Leste. Sementara roda usaha di Afsel dijalankan oleh Tuan Hansong dan Mas Heru hanya menunggu bagian dari keuntungan yang di transfer ke rekening pribadinya lewat African Bank yang rutin dikirim Hansong.

 

Desa Eban yang menjadi wilayah kami tinggal, adalah daerah yang menghubungkan Nusa Tenggara Barat dengan Timor Leste. Sebenarnya wilayah Timor Leste satu ini menyempil di provinsi NTT karena dikelilingi oleh tanah NTT. Tapi karena disitu banyak perantau dari Timor Leste dan pada saat terlepas dari NKRI tetap setia pada Sanana Gusmao dan menolak jadi bangsa Indonesia, maka wilayah itu masih tetap menjadi bagian negara Timor Leste dan Indonesia tetap menghargai mereka sebagai bangsa tetangga. Begitu jga dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat yang juga sangat mengapresiasi warga Timor Leste yang terkurung oleh wilayah kepulauan terbesar di Timor itu.

 

Pada tahun 1970-an akhir, Mas Heru bertugas selama beberapa bulan di daerah ini sebagai tentara nasional. Waktu itu presiden Soeharto berusaha menjadikan Timor Leste sebagai bagian dari Indonesia dan sempat berhasil. Pemerintahan Indonesia sudah terbentuk dan pembangunan sudah dimulai di kawasan Timor dengan gubernur, bupati, camat serta warga yang semuanya setia kepada NKRI. Tapi pada jaman pemerintahan Habibie, Timor Leste terlepas setelah terjadi referendum dan masyarakat mayoritas Timor memilih merdeka ketimbang ikut Indonesia, maka belakangan baru diketahui bahwa begitu banyak warga Timor yang anti Indonesia dan memilih bendera sendiri dengan melepaskan diri dari NKRI.

 

Selama Mas Heru bertugas di Timor Leste, baik di daerah Oisilo, Sultiana maupun Tulham, Mas Heru bersama kompinya, memegang senjata dan berperang. Kala itu ratusan teman Mas Heru sesama tentara yang mati dibunuh oleh ekstrimis Pretilin di daerah itu. Tentara di bawah kepemimpinan Sasana Gusmao sangat lihat berperang gerilya di hutanhutan dan di dalam tanah bagaikan tikus. Tentara kita banyak terperdaya oleh tentara pretilin yang ganas. Bahkan ada hal yang tak dapat dilupakan Mas Heru, di mana satu truk temannya mati karena granat pretilin. Mas Heru sendiri yang selamat langsung melesat ke dalam hutan dan berminggu-minggu menyelinap di kaki gunung. Bila mengingat nasib teman-temannya itu, Mas Heru selalu mencucurkan airmata dan dihujam rasa sedih yang mendalam. Mas Heru sendiri waktu itu bertekad untuk menghajar gerombolan pretilin itu, yang artinya sama saja dengan aksi bunuh diri. Tapi karena ingat wajah anak-anak kami yang masih kecil dan ingat akan aku, maka dia memilih lari ke hutan dan diselamatkan oleh warga NTT dan dibawa kota Kepamenanu.

 

Karena merasa berhutang budi kepada warga NTT, maka Mas Heru membangun usaha besar di daerah ini dan melibatkan sebanyak-banyaknya pengangguran setempat untuk diberi kesempatan kerja seluas-luasnya untuk kehidupan. Pak Gubernur Nusa Tenggara Barat yang sangat inovatif dan kreatif, menyambut baik gagasan itu dan bahkan mendukung penuh dengan menyiapkan segala fasilitas yang kami butuhkan. Gubernur katakan, bahwa dukungan Pemerintah Daerah itu dilakukannya karena demi pencetakan lapangan kerja bagi warga provinsinya. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga sangat menyetujui gagasan itu. Bahkan DPRD katakan, bahwa, makin banyak investor yang masuk ke NTT, maka makin baiklah bagi masyarakat NTT yang mayoritas hidup di bawah garis kemiskinan. Makin banyak pabrik yang dibangun, maka makin baiklah bagi rakyat Indonesia bagian timur ini.

 

Gubernur dan DPRD mempertimbangkan, karena mayoritas areal tanah lahan kosong di wilayahnya Nusa Tenggara Timur adalah tandus dan kurang bagus untuk bisnis pertanian. Selain kering dan jarang sekali disirami hujan, tanah di NTT juga berbatu-batuan dan humus tanahnya minus kadar asam, hingga sulit sekali tanaman untuk tumbuh baik kecuali jenis tanaman yang tidak banyak membutuhkan air seperti kaktus katulistiwa.

 

Pada tanggal 12 Maret 2008 lalu, rumah kami di Eban kedatangan lima laki-laki bertubuh tegap. Ke lima tamu asing yang datang menjelang tengah malam itu semuanya mengenakan pakaian tentara Indonesia. Mas Heru tidak mengenali semua tetamu itu. Tapi Mas Heru menyambut mereka dengan baik.

 

Di ruang tamu depan, Mas Heru dan ke lima tamu asing itu minum kopi dengan beberapa macam makanan kecil. Aku mengintip dari balik gordyn ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Ternyata ke lima tentara berusia muda yang semuanya berjaket hijau itu, mengaku desersi dari batalyonnya di perbatasan Timor Leste dan lari ke dalam hutan, Mereka mengaku bahwa jiwa mereka terancam dan mereka berniat kembali ke tanah Jawa daerah asal mereka. Tentang siapa yang mengancam nyawa mereka, ke limanya pasang aksi bungkam. Mereka tidak mau menyebut siapa yang mengancam dan oleh sebab apa mereka terancam. “Kami tahu dari warga daerah ini bahwa Pak Heru tinggal di sini dan Bapak dulunya juga tentara yang berjuang melawan gerombolan Fretilin di Timor Leste!” kata seorang di antara mereka, yang dijaketnya sangat jelas terbaca benama Joko Pitoyo. Mas Heru mengaku jujur bahwa Mas Heru juga tentara dari kompi apa, batalyon apa dan kesatuan apa. Mas Heru juga menyebut kapan dia bertugas di Timor Leste dan apa saja pengalamannya selama tugas. Ke lima lelaki yang semuanya berwajah tampan berkulit kuning langsat itu manggut-manggut mendengar keterangan dan cerita Mas Heru.

 

Setelah bercerita banyak, Mas Heru pun bertanya pada mereka bahwa apa saja pengalaman mereka selama berdinas di perbatasan dan kapan mereka pulang ke Jawa. Mereka menceritakan pengalaman mereka selama bertugas dan mereka berniat kembali ke Jawa lewat laut menuju Bali lalu dari Bali menyeberang ke Banyuwangi dan pulang ke rumah masing-masing. Ada yang berasal dari Malang, Blitar, Kediri dan Nganjuk yang semuanya asal Jawa Timur. Sedangkan Mas Hera mengaku pada mereka tentang daerah asalnya,. yaitu berasal dari Pacitan, satu kampung dengan Presiden Indonesia Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Menjadi militer dengan Pak SBY, sebenarnya bersamaan. Cuma karena SBY masuk ke Akademi Militer Magelang dan berprestasi serta berdedikasi baik hingga menjadi jenderal bintang empat. Sedangkan Mas Heru, saat pensiun beberapa tahun lalu, hanya sampai di pangkat Kapten. “Saya hanya sampai di perwira bawah, rendahan lah. Sedangkan Pak SBY, karena beliau makan sekolahan dan pintar, beliau sampai mendapatkan pangkat perwira tinggi. Bahkan, karena kepintaran dan kharismanya yang luar biasa, maka dia menjadi presiden RI. Menjadi presiden itu sangat istimewa, karena dia menjadi nomor satu dari 200 juta lebih rakyat Indonesia. Dia manusia super dan sangat istimewa. Tapi sungguh sayang seribu kali sayang, bahwa Pak SBY itu tidak menjadi pemimpin yang amanah, artinya tidak mampu menjadi pemimpin | yang benar-benar membawa amanat rakyat. Artinya, dia belum mampu membawa rakyat Indonesia yang mayoritas miskin ini ke pada keadaan yang lebih baik. Bahkan malah mayoritas rakyat kita ini belakangan makin bertambah sengsara. Jadi, keistimewaan yang disandang SBY, tidak lengkap, karena dia tidak bisa mendekati sempurna sebab belum ada perkembangan yang signifikan bangsa ini dibawah kepemimpinannya. Tapi, soal demokratisasi, SBY berhasil. SBY sudah sangat demokratis dan mumpuni dalam hal satu itu. Hanya itu keberhasilan SBY, yang lain tidak!” desis Mas Heru kepada lima tentara perbatasan yang kabur dari tugas itu.

 

Mereka manggut-manggut mendengar celoteh Mas Heru. Tapi salah seorang di antara mereka menyeletuk, bahwa SBY itu adalah tetap yang terbaik dari caloncalon pemimpin yang ada sekarang ini. Dari nama-nama yang beredar ke depan nanti, hanya SBY yang masih patut menjadi pemimpin negeri ini walau dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. “Iya, SBY adalah yang terbaik di antara yang jelek-jelek. Nanti, setelah tahun 2014 akan muncul pemimpin bangsa yang amanah dan benar-benar membangun bangsa ini ke arah yang lebih baik dan berhasil. Pemimpin masa depan itu adalah Satrio Piningit, pemimpin yang tersembunyi yang muncul dari kalangan rakyat jelata, naik ke singgasana setelah terjadi goro-goro besar di negeri ini!” tandas Mas Heru, sambil menguap.

 

Mensiasati lalu menimbang Mas Heru sudah mengantuk, ke lima tentara itu minta permisi keluar meninggalkan rumah kami. Mereka pamitan untuk masuk ke hutan Timau lalu meneruskan perjalanan ke Naikilu dan menyeberang ke Larantuka. Mereka akan berjalan di jalur darat menuju Labuhanbajo kemudian menyeberang terus ke Sumbawa, Lombok dan Bali. Mas Heru lalu berniat membantu perbekalan mereka dalam bentuk uang. Tapi ke lima tamu misterius itu menolak, mereka mengaku memiliki banyak uang dan cukup hingga ke Jawa. Bahkan mereka, kalau Mas Heru berkenan, hanya minta beberapa botol minuman mineral dan beberapa bungkus biskuit. Mas Heru menyiapkan semua yang dibutuhkan dan mereka memasukkan makanan dan minuman itu ke dalam lima ransel yang mereka pikul. Masing-masing orang membawa satu ransel besar yang , nampak lusuh dan banyak dinodai tanah merah.

 

Saat mereka berdiri, aku pun keluar ke ruang tamu menghantarkan mereka. Ke lima tentara itu pamit pula denganku, | bahkan mungkin karena umurku jauh lebih tua dari mereka, maka mereka pun memberi hormat dengan mencium tanganku dan tangan Mas Heru, lalu pergi memunggungi kami menuju halaman. Sebelumnya mereka memberi hormat cara militer dengan berdiri tegap sambil meletakkan tangan kanan yang mengembang di kening. Cara ini adalah cara baku militer dalam memberi salam hormat pada sesAma tentara. Mas Heru pun membalas salam dengan cara yang sama dan memberi pesan pada mereka agar berhati-hati di jalan. Bahkan Mas Heru juga menyertakan doa agar mereka selamat di tujuan dan bertemu keluarga di Tanah Jawa dengan baik.

 

Malam 12 Maret itu semakin larut. Bahkan jam di dinding ruang tamu kami menunjukkan angka 02.35 Waktu Indonesi Timur. Artinya, malam itu sudah jatuh di tanggal 13 Maret, malam keramat dengan angka yang misterius. Udara dinihari itu sangat dingin dan angin kencang berhembus dari pegunungan Mutis. “Kasihan mereka, tapi mengapa mereka melakukan pembangkangan dari tugas dan memilih keluar dari militer? Hal apa yang telah mereka lakukan dan mengapa mereka mengatakan bahwa mereka terancam. Siapa yang mengancam mereka? Toh jaman mereka ini bukanlah jaman perang, bukan masa berbenturan dengan pasukan Fretilin yang ganas dan mengerikan seperti jaman Papa dulu sebagai militer di Timor Timur kala itu. Bukankah mereka sudah jaman tenang, adem ayem dan tidak ada lagi perang. Timor Leste sudah merdeka dan mereka sudah mendapatkan pemimpin dari bangsa mereka sendiri, terbebas penuh dari pengaruh negara lain, baik dari Indonesia yang dianggap Fretilin penjajah maupun dari pemerintahan Portugis dan Australia yang juga membayangi-bayangi dari Indonesia dari kejauhan!” ungkap Mas Heru, saat mereka masih melangkah menuju pagar rumah kami.

 

Belum sempat Mas Heru dan aku membalikkan badan, suatu pemandangan mengejutkan sertamerta muncul di hadapan kami. Ke lima tentara itu tiba-tiba menghilang dalam hitungan detik setelah Mas Heru habis bicara. Padahal di halamar rumah kami lampu terang benderang dan rasanya tidak mungkin mereka bisa bersembunyi. “Lha, ke mana mereka? Kok tiba-tiba lenyap?” tanya Mas Heru, tak menuntut jawabanku, karena kami samasama tidak tahu.

 

Mas Heru dan aku langsung merangsek ke depan. Kami keluar halaman mencari tahu ke mana mereka pergi. Anehnya, di sepanjang jalan, baik ke kiri maupun ke kanan, tak nampak seorangpun dari mereka. “Allahu Akbar, mereka lenyap menghilang bagaikan hantu. Mas Heru dan aku lalu naik jeep CJ7 kami dan mencari mereka ke arah yang dituju yaitu Naikliu. Tapi sampai pagi kami tidak menemukan mereka. Aku dan Mas Heru jadi penasaran dan memutar otak, bertanya-tanya, siapa sebenarnya mereka berlima. Dengan jeep pula kami pergi ke perbatasan menemui komandan tentara perbatasan dan Komandan Koramil Kepamananu, Letnan Satu Hermanu Antonio. Ketika Mas Heru menyebut kesatuan, pangkat dan nama ke lima tentara yang dimaksud, Letnan Hermanu tertawa terpingkal-pingkal. “Kenapa Anda tertawa?” bentak Mas Heru, karena merasa dipermainkan oleh yuniornya. Hermanu lalu terdiam dan menyatakan hal apa yang diketahuinya tentang lima tentara yang dimaksud.

 

Arkian, ternyata semua tentara perbatasan mengetahui kasus lima tentara yang menjadi tamu kami malam 13 Maret itu. Lima orang tentara bersahabat bernama Joko Pitoyo, Tumijo, Otto, Hardi serta satunya lagi adalah tentara Indonesia tahun 1980-an lalu yang sudah terkubur di perbatasan NTT-Timor Leste. Mereka adalah tentara RI yang disersi dari tugas dan dibunuh Fretilin dalam pelariannya. “Makam mereka ada di Tabao dan bisa kiota lihat hari ini juga. Cerita penampakan lima tentara itu sudah terjadi sejak lama di daerah perbatasan!” terang Hermanu.

 

Benar saja, saat kami ke pemakaman Tabao, kami menyaksikan lima makam berdempetan. Nama-nama di batu nisan terlihat jelas, Joko Pitoyo, Otto, Hardi dan Tumijo. Mereka-mereka wafat pada tanggal 13 Maret tahun 1981 di Hutan Timao. Mereka mati di tangan Fretilin dalam satu serangan geranat tangan yang dilempar saat ke lima TNI disersi ini berjalan menuju Kupang.

 

Batinku dan batin Mas Heru bergejolak hebat. Jantung kami kontan deg-degan mensiasati kenyatan musykil pada malam Jumat Kliwon 13 Maret itu. Ternyata ke lima tamu tentara tampan itu adalah militer dari alam kubur. Dari alam lain di mana mereka sudah terbujur kaku dan tinggal tulangbelulang di tanah merah pekuburan Tabao. Duh Gusti!”

 

(Kisah ini dialami oleh Nyonya Heru S. pada penulis). Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: susuk.online
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Cara Mengendalikan Kekuatan Dalam Diri Sendiri

adminruqyah

Kisah Kyai Pamungkas: Hantu Cantik Jembatan Expan Kaltim

adminsusuk

Panggonan Wingit: MONSTER GANAS DANAU ONTARIO

KyaiPamungkas
error: Content is protected !!