Kisah Kyai Pamungkas: TUMBAL PEMBUATAN JALAN CADASPANGERAN
Pembuatan jalan raya Daendels di wilayah Cadaspangeran, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, tidak bisa dilepaskan dari kisah nan heroik Pangeran Kornel saat menghadapi Daendels. Meski menyodorkan tangan kiri untuk menerima salam, tangan kanannya memegang hulu keris…
Banyak kelokan tajam ketika kita memasuki kawasan jalan Cadaspangeran. Terkadang kita melewati jalan yang di satu sisinya jurang amat dalam itu sambil tiduran karena kenyamanan kendaraan ber-AC. Jalanan berkelok dengan pemandangan indah itu sudah kualitas hotmix sehingga bila jalanan kosong, kendaraan bisa melaju cukup kencang. Namun tentulah harus hat hati sebab sekalinya bisa tergelincir masuk jurang. Namun sejauh ini, berita kendaraan masuk jurang di kelokan Cadaspangeran sangat jarang. Yang ada belakangan ini adalah kemacetan yang tak ada habisnya. Cadaspangeran itu, lokasinya sekitar 10 km sebelum Kota Sumedang kalau dari arah Bandung.
Sekarang jadi jalan padat lalulintas, sebab jalan yang dibangun oleh Daendeis (1808-1811) ini menjadi jalan utama Bandung – Cirebon – Tegal – Jogjakarta, bahkan sampai ke Banyuwangi Jawa Timur. Daendels, gubernur jenderal Hindia-Belana tak pelak adalah seorang pembangun. Bahkan dengan hadirnya jalan raya pos Anyer – Panarukan ini, telah menomor-duakan jalan pedati yang dibangun oleh bangsa pribumi untuk menghubungkan lalu-lintas antar kerajaan kala itu.
Sebagai contoh, jauh sebelum dibuat jalan raya pos Anyer – Panarukan, di Jawa Barat berdiri Kerajaan Pajajaran (1482-1579). Kerajaan ini telah memiliki jalan penghubung dan para peneliti sejarah menyebutnya sebagai Highway Pajajaran. Jalan raya yang menghubungkan kerajaan di wilayah Pajajaran.
Dari pusat ibukota Pakuan (Bogor ini), jalan raya Pajajaran menghubungkan ibukota Pakuan dengan Kerajaan di sebelah baratnya yaitu Tanjungbarat (Jakarta Timun, Muaraberes (Tangerang), terus bersambung sampai wilayah Banten.
Komunikasi jalan ke arah timur yaitu ke Kerajaan Cirebon, Kerajaan Sumedanglarang Kuningan, Kawali (Kerajaan Galuh), bahkan sampai ke Majapahit sana. Highway Pajajaran juga disebut jalan pedati lantaran lebar jalan bisa cukup untuk dua kendaraan pedati saling berpapasan.
Namun sejalan dengan dbangunnya jalan raya pos Anyer-Panarukan, maka sedikit demi sedikit fungsi jalan raya kuno tersisihkan. Bukannya keberadaan jalan kuno sengaja dibunuh, namun seiring dengan munculnya jalan raya Daendels, kehidupan sosial-ekonomi cepat beralih dari jalan utama ke jalan baru.
Setiap 45 km atau jauhnya 60 km, Daendies membangun sebuah wilayah kota administrasi dan pada gilirannya menghidupkan gairah sosial-ekonomi. Sementara di jalan lama kesepian mulai melanda seiring dengan hilangnya bentuk kerajaan.
Cadaspangeran
Wilayah Cadaspangeran itu nama baru. Jauh sebelumnya, yaitu sebelum wilayah itu dibikin jalan, namanya adalah Leuweung Geumbeut (Hutan Belantara). Orang sembarangan tak berani memasuki hutan berjurang terjal itu, sebab selain memang susah dimasuki, juga karena dikenal angker. Selain itu, berbagai binatang buas hingga binatang menjijikan seperti kaki seribu, laba-laba raksasa, lipan, kalajengking dan cacing kalung (cacing ukuran besar), kerap mudah ditemui.
Manakala program pembangunan jalan raya pos harus melewati wilayah Leuweung Geumbeut, maka Bupati Kabupaten Sumedang sedikit keberatan. Beliau keberatan lantaran waktu yang dijadwalkan sangat mepet, juga alat-alat yang disiapkan pun sangat tak menunjang. Hanya dengan cangkul dan linggis, mana bisa harus membelah bukit bercadas di tepi jurang. Namun saja, sebuah negri terjajah, mana bisa melawan dengan kekerasan.
Ketika Gubernur Jenderal Daendeis datang melakukan pemeriksaan ke wilayah Leuweung Geumbeut, Pangeran Sumedang datang menyambut dengan wajah dingin. Tatkala Sang Gubernur menyodorkan tangan untuk mengajak salaman, Sang Pangeran menyambutnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanan memegang hulu keris.
“Apa yang sebenarnya Tuan Bupati harapkan?” tanya Daendels.
“Kami bukan bermaksud melawan Tuan dengan menolak perintah, namun berilah kebijakan khusus kepada wilayah kami. Karena wilayah kami medannya sangat berat, maka berilah waktu yang cukup untuk mengerjakannya dan berilah peralatan yang pantas agar rakyat kami bisa bekerja dengan cepat,” tutur Pangeran Sumedang.
Daendels pun sudah memeriksa, betapa medan di sana amat berat tidak seperti wilayah proyek jalan sejenis lainnya di Pulau Jawa. Karena peralatan yang sederhana, rakyat pekerja pun jadi lamban dalam bekerja. Banyak pekerja yang sakit keras karena kelelahan, diganggu binatang buas atau karena malaria dan kolera.
Selain itu, banyak pekerja yang mati kelaparan atau karena disiksa petugas. Atas laporan yang dinilai tak manusiawi ini, Daendels memang telah menghukum para mandor dan petugas lainnya yang lalai dalam melakukan pengawasan. Memang banyak petugas yang terkena sanksi hukuman, namun jauh lebih banyak lagi para pekerja yang menjadi korban pembangunan jalan raya pos di wilayah Leuweung Geumbeut ini. Banyak dari pekerja setelah mengalami penderitaan tak terhingga, akhirnya tewas dengan terhinakan juga. Banyak dari korban tewas tidak mendapatkan penguburan yang layak, bahkan kebanyakan dibuang begitu saja ke dasar jurang atau ke dalam hutan lebat.
Ketika penulis berkunjung ke wilayah Kampung Ciseda (kampung kecil tepat di bawah jurang jalan Cadaspangeran), berita-berita masa lalu yang menyedihkan kerap terdengar. Banyak pekerja tewas lantaran berbagai penyakit. Malaria teristimewa. Bukannya pemerintah tak menyediakan obatnya, namun fasilitas itu dikuasai oleh para mandor. Hanya pekerja yang bisa memberi suap yang bisa dapatkan obat malaria namun yang sebenarnya harus diberikan gratis itu.
Barnan (50) tewas dipukuli Mandor Adin Kartan. Yang jadi penyebab, Barnan punya utang beras belum dibayar. Barnan tak bisa lunasin utang karena lagi sakit malaria. Dia tak bisa obati penyakitnya sebab tak punya uang untuk nyuap Adin Kartan agar bisa dikasih obat.
Kata Madtasin (70) dari Kampung Ciseda, sampai dengan tahun 1940-an, makam di sekitar Cadaspangeran itu ada sekitar 200.
“Namun korban Cadaspangeran sebenarnya jauh lebih dari itu, sebab kebanyakan para korban tewas, jasadnya dibuang oleh petugas Belanda begitu saja,” tuturnya.
Petugas yang mengawal pembangunan sangat kejam. Ki Muun (kala itu usia 40 tahun), disiksa empat orang petugas Belanda, dipukuli sekujur tubuhnya dengan popor bedil, hanya karena kepergok mencuri nasi satu piring. Ki Muun mencuri bukan untuk dirinya sendiri, namun untuk teman sekerjanya yang belum kebagian rangsum.
Tiap hari pekerja hanya dapat makan satu kali. Makan di atas selembar daun, dimakan ramai-ramai. Tiap hari menunya tak pernah berubah, hanya sayuran daun ketela. Petugas Belanda juga sebetulnya hanya makan sekali di tepat bertugas, namunmereka makan dengan gaya prasmanan, punya piring sendiri dan tiap hari menunya gonta-ganti. Daging dan ikan selalu ada.
Ada teman Ki Muun lantaran sakit, dia ketinggalan makan bersama di atas daun dan tidak kebagian. Melihat di meja banyak sisa makanan petugas, dia mengambil piring nasi, namun kepergok dan dituduh mencuri. Ki Muun tewas karena membela teman untuk sepiring nasi. Peristiwa getir semacam itu banyak terjadi. Bila ada yang sakit keras sampai harnpir sekarat, bukannya diobati, namun langsung dibuang ke bawah jurang atau ke dalam hutan.
“Mandor dari bangsa sendiri juga ada, namun ada juga yang tengil melebihi tuannya,” tutur Ki Madtasin.
Mandor jahat ini tidak membunuh nyawa secara langsung, namun membunuh batin dan perasaan. Para pekerja pembuatan jalan merupakan tugas dan wajib melaksanakan. Namun demikian, semua pekerja sebetulnya dapat upah. Mandor tengil suka mempermainkan penugasan. Kepada rakyat yang tidak pernah memberi suap, maka tugas tak diberikan. Akibatnya, ada rakyat yang dihukum karena dianggap tak mau bertugas. Suatu saat, tingkah tengilnya dilaporkan. Maka dia dikeluarkan dari pekerjaan sebagai mandor. Namun jangan harap si pelapor lolos dari pembalasan dendam. Banyak rakyat hilang tak tentu rimbanya setelah melapor.
Sekarang jalan di Leuweung Geumbeut sudah enak dilalui pengendara, dan atas jasa Pangeran Sumedang yang memegang hulu senjata, maka jalan itu kini dikenal sebagai jalan Cadaspangeran.
“Namun kita di zaman modern ini hanya tahu nyamannya melalui jalan Cadaspangeran dan kurang memiliki rasa hormat kepada leluhur yang menjadi korban. Sedikit orang ingat akan jasad yang ada di sepanjang jalan Cadaspangeran ini,” tutur Madtasin. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: susuk.online
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)