Kisah Kyai Pamungkas: SUAMIKU PEMBURU PESUGIHAN
PERTENGKARAN itulah yang akhirnya menjadi puncak dari prahara yang melanda rumah tanggaku. Ya, pertengkaran hebat antara Mas Salman, suamiku dengan Ayahku.
Hari itu Ayah datang untuk menagih janji Mas Salman berkaitan dengan utang piutang. Sudah tiga kali Mas Salman janji akan membayar utangnya pada Ayah. Namun, seluruh janji itu diingkari oleh Mas Salman.
“Bukan maksud saya tidak mengembalikan uang Ayah. Tapi, saya sudah ditipu mentahmentah. Uang itu seluruhnya dibawa kabur oleh rekan bisnis saya, Ayah!” Jelas Mas Salman dengan wajah tertunduk.
Lalu, dengan nada tinggi Ayah membalasnya, “Alaaah… alasanmu itu sudah kuno, Salman! Kenapa tidak kau katakan dari dulu kalau kau memang ditipu kawanmu. Bulan kemarin, kau masih menjanjikan akan mengembalikan uang itu secepatnya kepadaku. Sekarang, kau malah mengarang alasan yang tidak-tidak!”
“Saya tidak mengarang alasan, Ayah. Tapi itulah kenyataan yang sebenarnya. Semula, saya berharap rekan bisnis saya itu bisa saya kejar jejaknya. Makanya bulan kemarin saya menjanjikan pengembalian uang itu kepada Ayah. Tapi nyatanya, rekan bisnis saya itu kabur entah kemana, saya dan banyak teman lainnya juga tertipu, eksploitasi Batubara itu ternyata hanya fiktif belaka,” jelas Mas Salman berharap agar Ayah mau mengerti akan kesulitan yang dialaminya.
Bukannya mau mengerti, Ayah yang sudah habis kesabarannya malah kembali menukas dengan nada yang semakin tinggi,
“Aku tidak mau tahu apa alasanmu, dan aku juga tidak mau tahu kebodohan yang telah kau lakukan, satu hal yang harus kau tahu. Salman! Uang ratusan juta itu bukan uang yang sedikit jumlahnya. Dan untuk memperoleh uang itu Ayah sudah jaminkan rumah Ayah kepada Bank. Sekarang lantas kau menghabiskannya begitu saja. Ini yang sulit Ayah percaya. Atau mungkin kau sengaja menghabiskannya karena ingin melihat Ayah mertuamu ini melarat!”
Mas Salman langsung menanggapi dengan tegas, “Demi Tuhan, sedikitpun tak ada niat busuk itu dalam hati saya, Ayah! Kalau memang Ayah menginginkan saya yang mencicil uang itu kepada pihak Bank, saya akan mengusahakannya dengan sekuat tenaga.”
“Maaah.. jangankan mencicil setoran ke Bank, untuk makan anak isterimu saja kau sudah tidak mampu lagi. Kau harus berterima kasih karena punya Ayah mertua seperti aku, yang mau menanggung seluruh kebutuhan rumah tanggamu. Coba bayangkan, apa jadinya anak dan isterimu kalau tidak ada aku. Ya, mungkin kalian sudah mengemis di kolong jembatan!”
Mas Salman terdiam mendengar perkataan ayah kali ini, Bisa jadi dia sangat tersinggung dengan kata-kata Ayah yang memang bernada sangat merendahkan dirinya itu. Bahkan, lebih tepat lagi kata-kata tersebut merupakan penghinaan yang sangat telak bagi seorang suami, sekaligus ayah dari tiga orang anak.
Sejak pertengkaran itulah kulihat Mas Salman lebih banyak berdiam diri. Dia selalu murung dan kurang senang bila kuajak berbicara. Prilakunya juga mulai banyak berubah. Makannya berubah sangat sedikit ini kalau tak mau dibilang ala kadarnya saja. Ya, mungkin hanya sekadar meng perut. Dia pun menjadi sangat pemalas, Bahkan, dia juga jarang mandi sehingga tubuhnya bau dan sebaga isterinya aku jadi malas berdekatan dengannya. Tapi, Mas Salman sepertinya bani merasa senang aku jauhi. Buktinya, dia tida pernah menunjukkan keberatannya dengan sikapku itu.
Mas Salman bagaikan orang asing di rumahnya sendiri, Padahal, dulu dia adalah orang yang selatu hangat kepada keluarga. Setiap ada di rumah, dia selalu menyempatkan diri bercanda dengan anak-anak. Dra juga begitu mesra dan penuh cinta kepadaku. Hal inilah yang membuat aku sebagai isterinya merasa sangat bahagia. Ya, sebagai seorang suami dan ayah, Mas Salman sungguh sangat ideal. Dia selalu memberikan perhatian kepada keluarga sampai hal-hal terkecil sekalipun. Semua ini dia lakukan di tengah kesibukannya sebagai seorang Manajer Marketing di sebuah perusahaan tekstil, yang terkadang juga harus pergi keluar kota sampai berhari-hari lamanya.
Tapi itu dulu. Serbuan tekstil asal Cina yang dilempar ke pasar dengan harga sangat murah membuat perusahaan tempat Mas Salman bekerja terpaksa harus gulung tikar, Perusahaan yang melakukan produksinya di daerah Bekasi itu tak bisa bersaing harga dengan tekstil asal Cina. Akibatnya, perusahaan terus merugi sehingga harus mem-PHK sebagian besar karyawannya. Pengurangan jumlah karyawan ternyata juga tidak bisa menolong, sebab perusahaan memang sulit berkembang di tengah kompetisi yang ketat dan kurang sehat. Akhirnya para pemilik dan para pemegang saham memutuskan untuk menghentikan produksi, atau dengan kata lain perusahaan itu tutup. Mas Salman pun akhirnya menjadi korban akibat keadaan ini. Dia di PHK!
Dengan uang pesangon yang lumayan besar jumlahnya, pada awalnya Mas Salman memang bisa survive dalam menghadapi situasi dan kondisi. Untuk memutar uang pesangon tersebut dia masih sempat membuka show room mobil bekas di depan rurnah kami, yang memang kebetulan tetaknya persis di depan jalan utama di salah satu sudut kota Bekasi. Memang sih, rumah ini bukan milik pribadi kami, melainkan rumah milik orang tuaku yang d pinjamkan kepada karni untuk menempatinya.
Mulanya, usaha jual beli mobil bekas ini hasilnya lumayan juga. Ya, setidaknya bisa untu sekadar mengasapi dapur dan membiayai sekolah anak-anak. Tapi, musibah itu akhirnya harus terjadi.
Tanpa dinyana, usaha jual beli mobil bekas Mas Salman itu tiba-tiba harus tutup. Hal ini terjadi karena keteledoran Mas Salman sendin. Dia telah membeli sebuah mobil curian asal Jawa Timur. Polisi berhasil melacaknya. Mas Salman dituduh sebagai penadah. Polisi sempat menciduknya, bahkan akan membawa kasusnya ke meja hijau. Karena tak mau menjadi pesakitan di muka persidangan dan kemudian mendekam di penjara, Mas Salman akhirnya main mata dengan beberapa oknum polisi.
Dia memberikan sejumlah uang sogok yang lumayan besar agar kasusnya bisa diputihkan.
Dengan cara ilegal ini Mas Salman memang bisa lolos dari jerat hukum. Tapi, persoalan baru menghadangnya. Seluruh uangnya terkuras habis untuk mengurus kasusnya, sekaligus untuk menyogok oknum polisi.
“Sekarang kita benar-benar jatuh rniskin, Ma!” Cetus Mas Salman, malam itu dengan nada sedih.
“Ya, sudahlah, Mas! Mungkin nanti akan ada jalan keluarnya” jawabku sambil memeluknya.
Jalan keluar yang kami temukan adalah dengan meminjam uang kepada Ayahku, Meski aku tahu kalau Ayah seorang yang sangat pelit dalam urusan uang, namun derhi melihat keadaan anak cucunya akhirnya dia mau juga bermurah hati. Ayah memberi pinjaman uang sebesar tiga ratus juta rupiah kepada Mas Salman.
“Salman, kau harus ingat uang itu Ayah dapat dari meminjam kepada Bank kepercayaan Ayah. Jadi, kau harus menjaga nama baik Ayah. Ingat, kau harus mengembalikan uang itu tepat pada waktunya,” kata Ayah saat memberikan uang cash sejumlah tersebut kepada Mas Salman.
“Tentu saja saya tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan Ayah ini,” jawab Mas Salman yang sebelumnya mengaku kalau uang sebesar itu akan digunakannya sebagai modal patungan usaha eksploitasi Batubara di Kalimantan Selatan.
Tetapi aku tahu Mas Salman berbohong. Dia tidak pernah menanamkan uang itu untuk usaha eksploitasi Batubara. Yang dilakukannya dengan uang itu adalah sesuatu yang bagiku sangat gila dan tidak masuk akal. Ya, Mas Salman bermaksud akan menggandakan uang tersebut dengan cara gaib. Katanya, uang sejumlah 300 juta rupiah itu setelah digandakan akan berubah menjadi 30 milyar rupiah. Bayangkan, jumlah yang sangat besar dan menggiurkan.
“Dengan uang berjumlah 30 milyar itu, kita akan bisa berbuat apa saja. Bahkan kalau perlu kita bisa keliling dunia, Ma!” Sesumbar Mas Salman.
“Tapi, apa mungkin semua itu bisa terjadi, Mas? Masak sih, uang 300 juta bisa beranak pinak jadi 30 milyar? Buatku ini mustahil sekali lho, Mas!”
Menanggapi ketidakyakinanku, Mas Salman malah bercerita, “Ini memang perkara gaib yang tidak bisa dicerna akal sehat, Mama Sayang! Tapi kau lihat Pak Oding itu. Dia baru beli Alphard karena mendapatkan komisi dari orang yang telah berhasil menggandakan Uangnya. Bahkan, sebulan yang lalu dia juga baru beli rumah dua lantai di Lippo Cikarang. Uangnya juga sama dia peroleh dari hasil komisi orang yang telah berhasil menggandakan uangnya.
“Memangnya, Pak Oding itu siapa sih, Mas?” Tanyaku.
“Dia itu orang kepercayaan dari kuncen sakti yang ada di Gunung Gede. Nah, kuncen sakti itulah yang bisa menghubungkan orang dengan pemegang kunci baitul mal alam gaib yang ada di salah satu goa misterius yang ada di Gunung Gede.”
“Jadi dia yang akan menggandakan uang kita menjadi 30 milyar?” Kejarku.
“Persis! Dan kita akan langsung jadi kaya raya, Ma!” Tanggap Mas Salman dengan antusias. Aku memang tak bisa mencegah keinginan Mas Salman, meski aku sendiri ragu terhadap kejujuran orang bernama Pak Oding itu. Aku sendiri tidak tahu bagaimana ceritanya sampai Mas Salman bisa berkenalan dengan pria paruh baya yang selalu berdandan perlente itu. Yang membuatku agak bingung, Mas Salman yang biasanya tak pernah mau percaya dengan hal-hal yang bersifat gaib itu bisa begitu terbius oleh cerita Pak Oding. Mungkin juga karena penampilan Pak Oding yang memang sangat mendukung. Dia selalu datang ke rumah kami dengan Alphard terbaru. Bahkan, kami juga pernah diajaknya mampir ke rumahnya yang ada di Lippo Cikarang. Wah, rumah Pak Oding ini benar-benar sangat besar dan megah. Bahkan, di rumah ini juga masih terparkir sebuah sedan mewah yang harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah.
“Terus terang saja, saya ini hanya seorang pengangguran berat. Semua ini bisa saya beli berkat uang komisi dari orang-orang yang sudah berhasil saya bantu menggandakan uangnya. Ya, pekerjaan ringan yang hasilnya lumayan juga, kata Pak Oding waktu itu, sedikit membanggakan diri.
Aku dan Mas Salman saling bersitatap mendengar ucapan Pak Oding. Dan sejak itu pula kami semakin terbius oleh janji-janji manis Pak Oding.
Hingga sampailah di suatu hari, Mas Salman berpamitan padaku untuk berangkat ke Gunung Gede. Menurut Pak Oding, kuncen sakti yang bersemayam di sana sudah bersiap membukakan pintu baitul mal alam gaib untuk Mas Salman, sehingga dia bisa melipatgandakan uangnya.
“Sebaiknya Mas ditemani Mang Wardi. Aku takut terjadi sesuatu pada dirimu,” bisikku sebelum Mas Salman pergi.
“Masalahnya, boleh tidak ada orang lain yang menemaniku?” Balas Mas Salman.
“Kalau begitu, biar aku yang memintanya pada Pak Oding!” Kataku.
Anehnya, ketika aku kembali menemui Pak Oding yang menunggu di ruang tamu, dia seperti bisa langsung membaca jalan pikiranku.
“Kalau Ibu merasa khawatir akan terjadi sesuatu, ibu bisa meminta tolong siapa saja untuk menemani Pak Salman. Atau kalau memang ada waktu, bisa ibu sendiri yang menemaninya.” Begitu kata Pak Oding yang membuat aku heran bukan main.
“Kalau memang diizinkan, saya akan meminta Mang Wardi, tukang kebon kami yang menemaninya,” ujarku sambil berusaha mengendalikan perasaan.
“Silakan saja, Bu! Itu malah lebih baik agar Ibu bisa lebih tenang melepaskan kepergian Bapak!” Tandas Pak Oding dengan kata-kata yang sungguh membuatku semakin bertambah yakin akan ketulusan niatnya yang ingin membantu kesulitan keluargaku.
Tetapi, kami benar-benar kecele, Pak Oding bukanlah dewa penolong. Dia justeru setan penebar malapetaka, Dan kami, dalam hal ini aku dan Mas Salman, adalah korban dari tipu muslihatnya yang amat keji dan licin.
Semua muslihat Pak Oding terbungkus kemasan yang sangat rapih dan amat menarik, Menyelang Magrib itu, dia mengajak Mas Salman yang ditemani Mang Wardi pergi ke Gunung Gede. Lantas, apa yang dilakukan Mas Salman di sana?
Beginilah cerita Mas Salman…
Malam itu, dirinya memang diajak masuk ke dalam goa yang lumayan besar, Di sana sudah menunggu seorang kakek renta yang usianya diperkirakan lebih dari 80-an tahun. Kendati demikian, si kakek yang bertubuh hitam itu masih tampak lincah dan tangkas gerakannya.
Kepada si kakek yang disapa Pak Oding dengan sebutan Mbah Lutung inilah Mas Salman menyerahkan sebuah koper kecil berisi uang senilai 300 juta rupiah. Lalu, setelah menerimanya si kakek membuka koper sambil manggut-manggut.
“Nak Salman yakin jumlahnya sudah pas 300 juta rupiah?” Tanya Mbah Lutung seperti ditirukan Mas Salman saat bercerita padaku.
“Yakin, Mbah! Saya sudah beberapa kali menghitungnya.” Jawab Mas Salman.
Beberapa saat lamanya kedua mata Mbah Lutung terpejam, dengan mulut komat-kamit seperti membaca mantera. Katanya, “Uang ini akan menjadi 30 milyar rupiah asalkan Nak Salman mau memenuhi persyaratannya”
“Apa persyaratan itu, Mbah?”
Mbah Lutung membuka matanya dan menatap Mas Salman. “Kau harus menginap beberapa malam di sini. Nanti kalau ada yang datang, kau harus melayaninya dengan baik. Kau bersedia?” Tanyanya sambil menatap kian tajam
“Saya bersedia, Mbah!” Jawab Mas Salman, tegas.
Ringkas cerita, dua malam lamanya Mas Salman menginap di dalam goa yang tidak diketahui apa namanya itu. Di bagian inilah dadaku terbakar oleh api cemburu. Menurut Cerita Mas Salman, di malam terakhir dia menyaksikan dengan mata kepaka sendiri prihal kemunculan seorang putri yang amat cantik jelita. Sang putri berpakaian ala wanita bangsawan Sunda itu langsung mengajaknya bercumbu.
“Kau pasti bernafsu sekali bercumbu dengannya kan?” Tanyaku dengan dada panas. Mas Salman memelukku dengan mesra.
“Kau jangan cemburu. Semua itu pasti hanya bayangan saja. Yang penting, apa yang kita inginkan sudah terkabul. Kau lihat dua karung goni besar itu, bukan? Semuanya berisi uang. Jumlahnya 30 milyar!” Bisiknya merayuku.
“Ah, benarkah itu, Mas?” Aku melongo.
Mas Salman mengangguk. Lalu seolah ingir membalas dendam, dia langsung memagutku dengan penuh gairah, sampai nafasku sesak dibuatnya. Malam Itu Mas Salman seperti kesetanan mencumbuku, kami seperti pengantin baru.
Aku penasaran dengan isi karung goni itu. “Kenapa tidak kita buka sekarang Mas!” Pintaku selepas kami kembali dari perburuan birahi.
“Itu tidak boleh kita lakukan, Menurut Mbah Lutung, karungnya harus kita buka saat ayam berkokok. Jadi, kita harus sabar dulu,” ujar Mas Salman. Sambil meraih tas pinggan dan membukanya, yang ternyata isinya penah dengan uang pecahan 50 ribuan rupiah, dia kembali melanjutkan,
“Kau lihat uang ini, ini baru sebagian kecil saja. Jumlahnya 50 juta rupiah. Mbah Lutung mengambilnya dari salah satu karung goni itu.”
Wajahku berseri-seri melihat bukti yang ditunjukkan Mas Salman. Segala syakwasangka yang selama ini menghantuiku lenyap sudah, Ya, mungkin ini adalah rejeki kami, meski kami harus memperolehnya dengan jalan yang tidak lazim.
Malam itu kami bergadang semalam suntuk. Seolah untuk mengisi kekosongan waktu, Mas Salman yang seperti kesetanan itu dua kali mengajakku mendaki puncak asmara. Kami tak sabar menunggu subuh. Namun begitu subuh tiba, semua keceriaan itu lenyap bagai debu tersapu badai. Semuanya lalu berubah menjadi kesedihan.
Pas ayam jantan berkokok untuk pertama kalinya, dengan tergesa-gesa kami membuka ketiga karung goni yang katanya berisi uang itu. Tetapi apa yang terjadi? Semua karung itu isinya hanya potongan-potongan kertas koran yang ditata sedemikian rupa, sehingga mirip dengan gepokan uang. Guntingan-guntingan uang selebar pecahan 50 ribu ruprah itu tampak masih sangat baru dan gres.
“Kita telah ditipu, Ma!” Geram Mas Salman dengan suara gemetar.
Subuh itu juga dia langsung meluncur ke kawasar Lippo Cikarang untuk memburu Pak Oding. Tapi, lagi-lagi Mas Salman menelan kenyataan pahit. Sesampainya di rumah mewah dua lantai yang dulu diakui sebagai rumah Pak Oding itu, dirinya hanya bisa menjumpai seorang lelaki tua yang mengaku disuruh majikannya untuk menjaga rumah itu.
“Karena rumah ini baru habis dikontrak, oleh majikan Bapak diminta menjaganya dulu, sekalian bersih bersih, kata lelaki tua itu seperti ditirukan Mas Salman.
Karena penasaran, Mas Salman menghubungi pihak developer untuk menanyakan siapa sebenarnya pemilik rumah itu. Salah seorang petugas di kantor pemasaran menjelaskan bahwa rumah itu milik Tuan “X”. Pokoknya, rumah itu bukan milik seseorang bernama Oding Sunaryana. Bahkan kemudian diketahui kalau ternyata nama terakhir ini hanyalah seorang yang mengontrak rumah kepada Tuan “X” untuk jangka waktu setahun, dan masa kontrakan tersebut sudah habis beberapa hari yang lalu.
“Setahu saya Pak Oding sudah mengemasi seluruh barangnya, dan pergi dua hari yang lalu. Petugas di sini tidak ada yang mengetahui kemana dia pergi, sebab kami memang tidak berwenang bertanya sampai sejauh itu” jelas salah seorang petugas security yang dimintai keterangan oleh Mas Salman.
Seketika, dunia menjadi gelap gulita bagi Mas Salman. Bahkan seperti layaknya anak kecil, dia menangis di pangkuanku menyesali kebodohannya. Dia baru sadar kalau uang sebesar 50 juta rupiah itu adalah uangnya sendiri. Dalam arti kata, tak pernah ada yang namanya penggandaan uang. Semuanya tak tebih dari modus penipuan yang dilakukan oleh Pak Oding dan si kakek renta yang disebut sebagai Mbah Lutung, Betapa rapih skenario yang mereka susun dan jalankan, sehingga Mas Salman dan aku benar-benar terbius karenanya.
Dengan sisa uang yang ada, Mas Salman berusaha memburu Pak Oding dan Mbah Lutung. Dia mendatangi Gunung Gede untuk mencari goa yang disebut-sebut sebagai pintu baitul mal alam gaib itu. Tapi anehnya, tak seorang pun mengenal keberadaan goa tersebut, dari sini keadaan semakin jelas bahwa Pak Oding dan Mbah Lutung memang pemain yang lihai dan berpengalaman…
ITULAH sebenarnya yang terjadi dengan uang 300 juta rupiah pinjaman dari Ayah itu. Jadi, apa yang dijelaskan Mas Salman kepada Ayah hanya kebohongan semata, sebab uang itu sejatinya sudah dimakan oleh Pak Oding dan mitra kerjanya yang lihai itu.
Mas Salman nyaris gila memikirkan bagaimana mengembalikan uang yang bagi kami sangat besar jumlah itu. Ketika dia mengalami depresi hebat, Ayahku tiba-tiba kembali datang untuk menagih uang tersebut. Akibatnya, pertengkaran pun terjadi, sampai akhirnya Ayah mengeluarkan kata-kata yang amat menyakitkan bagi Mas Salman itu.
Ya, pertengkaran itulah yang menjadi puncak kemelut yang kami alami. Kurang dari dua bulan setelah pertengkaran antara dirinya dengan Ayah, pada suatu malam Mas Salman berpamitan padaku.
“Besok aku akan pergi, Ma!”
“Mas Salman mau pergi kemana?”
Dia menatapku dengan teduh. “Aku tak tahu pasti. Yang jelas, aku harus mencari jalan keluar untuk mengatasi keadaan ini, terutama sekali bagaimana agar aku bisa secepatnya mengembalikan uang Ayahmu itu. Aku tak mau terus terhina di mata Ayah dan keluargamu,” katanya dengan suara agak gemetar.
“Aku mengerti perasaanmu, Mas!” Kutatap dia dalam-dalam. “Tapi, kau akan pergi kemana, dan kau mau bekerja apa untuk mendapatkan uang sebanyak itu? Menurutku, sebaiknya kita berterus terang saja kepada Ayah. Kita ceritakan saja kejadian yang sebenarnya.”
“Ooo… tidak… tidak!” Tegas Mas Salman agak terburu-buru. “Kalau itu sampai aku lakukan, maka harga diriku akan benar-benar hilang di mata Ayahmu. Daripada aku harus terhina seperti itu, lebih baik aku berusaha dengan cara apapun untuk mengembalikan uangnya. Ya, aku harus bisa menunjukkan bahwa aku mampu dan bisa menjadi kaya seperti Ayahmu!”
“Iya, tapi kau mau pergi kemana untuk mencari uang itu?” Tanyaku lagi, risau.
Mas Salman menatapku. Dengan tegas dia berkata, “Ibarat mandi aku ini sudah terlanjur basah, Ma! Ya, daripada setengah-setengah, aku mau basah kuyup sekalian asalkan semua Cita-citaku bisa terwujud. Aku akan mencari guru dan tempat pesugihan yang benar-benar ampuh, Ma!”
Sekujur tubuhku merinding mendengar tekad Mas Salman yang gila itu. “Kau ingin mengorbankan aku dan anak-anakmu, Mas?” Tanyaku sambil berlinang air mata.
Mas Salman merangkulku. “Itu tidak mungkin, Ma! Justeru semua ini kulakukan demi membahagiakan kalian. Aku ingin kita semua hidup enak dan tidak terhina seperti sekarangini,” tuturnya dengan suara gemetar.
Mulutku terkunci. Kurasakan gemuruh dada Mas Salman yang penuh dengan ambisi dan angkara murka, Aku tak mungkin lagi dapat menghentikan langkahnya. Dia tetap bersikukuh untuk maju, meski jalan yang akan ditempuhnya penuh dengan onak dan duri, bahkan lumpur pekat yang berbau teramat busuk.
“Jaga dirimu baik-baik, Ma! Aku titip anakanak!” Cetus Mas Salman di pagi buta itu. Dia mengecup keningku. Kuiringi langkahnya dengan air mata yang menetes hampir tiada henti, bagaikan lilin terbakar api. Tak ada kata kata yang terucap dari mulutku mengiringi perpisahan itu, sebab kesedihan begitu menyesak dalam dadaku…
DUA TAHUN sudah perpisahan itu. Tak ada setitikpun kabar dari Mas Salman. Baik surat, telepon, maupun berita dari mulut orang yang sempat kudengar menyebut tentang dirinya. Entah di mana dia sekarang?
Sementara itu, Ayah yang telah kuberi tahu hal yang sebenarnya juga amat menyesali kepergian Mas Salman. Beliau juga berusaha mencari kabar tentang Mas Salman dan berjanji akan memaafkannya. Demikian pula seluruh keluargaku yang lain. Semuanya bertekat mencari jejak Mas Salman, dan memintanya kembali ke tengah-tengah keluarga. Ya, terutama aku, isterinya, dan ketiga orang anaknya yang selalu bertanya tentang keberadaan Papanya.
Tetapi, sekali lagi, tak secuilpun kabar tentang diri Mas Salman yang bisa kami peroleh. Kabar tentang dirinya bagaikan tertutup kabut pekat, sehingga jejaknya benarbenar amat misterius.
Sebagai isteri yang telah mendampinginya selama hampir 10 tahun lebih, naluriku mengatakan kalau Mas Salman masih hidup. Namun anehnya, mengapa dia tidak memberi kabar sedikitpun kepadaku? Apakah dia malu untuk kembali karena mimpinya belum juga terwujud?
Entahlah! Namun yang pasti, beberapa kali aku mengalami mimpi aneh tentang diri Mas Salman. Misalkan saja, aku pernah bermimpi melihat Mas Salman yang terikat di tiang pancang mirip salib. Tubuhnya berlumuran darah sebab dua orang wanita dengan tubuh telanjang bulat terus mencambukinya. Mas Salman menjerit-jerit kesakitan. Aku ingin menolongnya. Namun kakiku tak bisa kugerakkan, sebab seperti telah terpaku di atas permukaan bumi.
Ya, beberapa kali mimpi aneh itu kualami, Dan, sekali waktu aku juga pernah bermimpi melihat Mas Salman yang berlayar sendirian dengan sebuah sampan. Laut tempat sampan itu berlayar ombaknya sangat besar. Anehnya, di antara debur gelombang kulihat wanitawanita telanjang berlarian. Mereka sepertinya mengawal sampan yang dinaiki Mas Salman. Anehnya, saat aku memanggil-manggil namanya, Mas Salman sepertinya sama sekali tidak mendengar suaraku. Dia terus saja mengayuh sampannya yang dikepung oleh sosok wanita-wanita telanjang itu. Aku terjaga dari mimpi ini ketika kulihat Mas Salman dan sampannya tergulung gelombang yang anehnya memercikkan lidah api.
Itulah mimpi-mimpi menyeramkan yang aku alami. Meskipun hanya sekedar mimpi, namun naluriku mengatakan ada suatu rahasia di baliknya. Kadangkala, aku berprasangka buruk dalam hatiku sendiri: “Apakah mungkin Mas Salman telah terjebak dalam suatu ritual pesugihan?”
Betapa takut aku menjawab pertanyaan itu. Tapi, mimpi itu sepertinya telah cukup mewakili jawabannya. Wanita-wanita telanjang, laut yang bergelora, lidah api yang memercik, dan tubuh Mas Salman yang terikat di tiang pancang, seakan merupakan gambaran bagaimana nasib suamiku saat ini.
Mungkinkah Mas Salman benar-benar telah menghamba pada suatu kesesatan? Jika memang benar, apakah semua cita-citanya yang ingin menjadi kaya sudah terwujud? Kalau memang sudah, mengapa dia tak kunjung kembali kepada kami, isteri dan anak-anaknya?
Apapun kenyataan yang kini terjadi terhadap diri Mas Salman, yang pasti aku dan anak-anak selalu merindukan kehadirannya. Andaikan dia kembali dan ternyata sungguhsungguh telah berbuat kesesatan yang amat terkutuk di mata Tuhan, maka tentulah kami akan mengajaknya kembali ke jalan yang terang. Namun, aku tak tahu harus berbuat apa agar Mas Salman kembali. Rasanya, dunia ini begitu gelap bagiku!
Dua tahun adalah waktu yang amat panjang bagi seorang isteri yang menanti kehadiran suaminya, juga bagi anak-anak yang merindukan kasih sayang Papanya. Akankah kerinduan ini berakhir dalam siraman air mata bahagia? Ataukah akan terus berlalu sebagai mimpi panjang yang menakutkan? (Diceritakan oleh Ny. Ariyanti Salman, Bekasi). Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: susuk.online
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)