Cerita Featured Kisah Kyai Pamungkas Uncategorised Uncategorized

Kisah Kyai Pamungkas: GUNA-GUNA ISTRI TUA

Kisah Kyai Pamungkas:

GUNA-GUNA ISTRI TUA

 

Karena tak sudi dipoligami, ia rela mengguna-gunai suaminya dengan maksud agar menceraikan isteri mudanya. Tetapi apa yang terjadi setelahnya? Ambisinya memang terwujud. Namun, pengaruh guna-guna itu telah mengubah suaminya menjadi idiot. Nah, inilah catatan hitam yang dialami oleh Ny. ANS di Semarang…

 

Poligami memang dihalalkan menurut hukum Islam. Tetapi masalahnya, siapakah wanita yang sudi dipoligami? Hampir-hampir tak ada seorang wanita yang bisa melakukannya. Kalaupun dalam kenyataan banyak kaum Hawa yang hidup dipoligami, maka bisa dipastikan hal ini hanya karena keadaan yang memaksa. Selebihnya mereka tentu hanya berpedoman pada nasib atau takdir.

 

Sebagai seorang wanita yang cukup terpelajar, tentu saja aku tak mungkin rela dipaksa oleh keadaan, atau hanya berpangku tangan menerima nasib dengan membiarkan suami beristeri muda. Dengan berbagai cara aku harus berjuang mengembalikan rumahtanggaku yang ideal tanpa kehadiran pihak ketiga. Keegoisanku inilah yang pada akhirnya menjerumuskanku ke jurang penyesalan. Ya, karena kekeh dengan keinginan agar Suami menceraikan isteri mudanya, aku terpaksa mengguna-gunai suamiku sendiri. Tetapi apa yang terjadi tak kemudian? Suamiku yang pandai dan rajin beribadah itu itu berubah persis seperti lelaki idiot. Keceriaan dan kepintarannya telah punah karena pengaruh gaib guna-guna yang mungkin telah merusak otak atau kesadaran normalnya.

 

Rangkaian kisah berbalut keegoisan dan cemburu inilah yang menjadi bagian catatan hitam dalam lembar-lembar sejarah hidupku. Begitu pekatnya semua Ini, sehingga aku tak kuat lagi untuk melaluinya seorang diri.Inilah catatan hitamku selengkapnya…

 

Rabu, 20 Juli 2009.

Hari ini umur pernikahan kami genap 20 tahun. Kami merayakan hari ulang tahun pernikahan ini dengan sebuah pesta sederhana di rumah. Ditemani ketiga putri kami yang sudah beranjak dewasa, kami memotong tumpeng yang kubuat dengan tanganku sendiri. Ada tawa ceria, ada juga air mata haru yang tak terasa menitik di atas pipiku yang mulai dihiasai kerut-kerut ketuaan. Maklum, usiaku sudah menginjak 43 tahun.

 

Betapa bahagianya aku hari itu. Tak terasa waktu telah begitu cepat berlalu, dan kami telah melalui perjalanan yang relatif panjang untuk suatu kebersamaan. Apalagi sepanjang waktu itu hampir tak ada problem berarti yang harus kami hadapi. Laksana suatu perjalanan jauh, segala sesuatunya senantiasa berjalan dengan mulus. Kalau pun ada pertengkaran di antara kami, paling-paling hanya disebabkan oleh hal-hal kecil saja. Misalnya karena Mas Ramlan yang cemburu padaku, atau sebaliknya karena aku yang mencemburuinya. Tapi soal-soal semacam ini biasanya justeru menjadi bumbu untuk menambah kemesraan di antara kami.

 

Setelah 20 tahun menikah kami dikaruniai 3 orang anak. Anak kami yang sulung sudah kuliah semester awal, sedangkan adiknya masih duduk di kelas 3 SMA, sementara si bungsu duduk di kelas 2 SMP. Semua anak kami perempuan, sehingga kami harus menjaga dan mendidik mereka dengan ekstra hati-hati. Maklum saja, pergaulan remaja di zaman sekarang banyak yang kebablasan, dan siapapun orang tuanya pasti tidak menghendaki anak-anaknya salah dalam bergaul.

 

Sebagai seorang ayah dan suami, Mas Ramlan juga selalu memberikan contoh yang baik, terutama dalam hal peribadatan sholat 5 waktu. Ia selalu mendorong agar kami tak pernah meninggalkan kewajiban satu ini. Disamping itu, ia juga selalu mengajarkan kami untuk berdisiplin dalam hal mengelola waktu. Lebih dari segalanya, Mas Ramlan adalaj seorang yarig bertipe pekerja keras. Karena kegigihannya kami bisa hidup mapan dan layak, serta tak pernah kekurangan sesuatu apapun.

 

Dengan semua kriteria itu, tak ada secuilpun alasan bagiku untuk mencurigai Mas Ramlan. Walau ia kerapkali harus pulang rualam, atau bahkan sering ke luar kota untuk mengurusi proyeknya, namun aku sama sekali tak pernah menaruh pikiran negatif terhadap dirinya. Ringkas kata, di depan mataku Mas Ramlan adalah suami yang sangat ideal. Sekaligus ia juga menjadi seorang ayah yang sangat baik di mata anak-anaknya.

 

Pepatah mengatakan: “Sepandai-pandainya menyimpan bangkai suatu saat baunya pasti akan tercium juga.” Kiranya, inilah yang kemudian terjadi terhadap Mas Ramilari, atau lebih tepat lagi Ir. Ramlan Muchtar, pria yang kukenal sejak kami masih sama-sama kuliah di sebuah sekolah tinggi di kota kelahiranku, Semarang. Ia telah begitu sempurna menutupi bangkai itu, namun akhirnya bau busuk si bangkai bisa kucium juga

 

Senin, 14 September 2009.

Sore itu aku berada di sebuah rumah sakit swasta di pinggiran kota Semarang. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di rumah sakit yang terbilang megah ini. Tentu saja bukan tanpa tujuan kedatanganku adalah untuk membesuk Mbakyu Laras, kakak sulungku, yang jatuh dari sepeda motor sewaktu dibonceng oleh putra pertamanya.

 

Entah mengapa, aku tak meminta izin terlebih dahulu kepada Mas Ramlan soal kepergianku membesuk Mbakyu Laras ini. Padahal biasanya aku selalu meminta izin padanya setiap kali akan pergi meninggalkan rumah. Tetapi sore itu aku seolah melupakan kebiasaan tersebut.

 

Rupanya, keaipaanku ini membawa hikmah tersendiri bagiku. Betapa tidak, ketika aku bermaksud meninggalkan rumah sakit, tanpa sengaja kulihat Mas Ramlan. Namun ia tidak sendiri.

 

Ia sedang berjalan dengan seorang perempuan yang usianya kuperkirakan baru sekitar 25-an tahun, atau hampir sebaya dengan anak sulungku, Wina. Yang membuat debar jantungku semakin tak menentu, bersama mereka ada juga seorang bocah lelaki yang usianya kuperkirakan sekitar 5 tahunan. Bahkan, ketika menaiki tangga bagian depan rumah sakit, kulihat dengan penuh kasih sayang Mas Ramlan menggendong anak lelaki yang seperti sedang sakit itu.

 

“Ya Tuhan, siapakah perempuan dan anak laki-laki itu? Mengapa suamiku seperti begitu dekat dengan mereka?” pertanyaan ini merejam sanubariku. Namun, aku tak Kuasa untuk membuat kesimpulan-kesimpulan agar bisa menjawabnya.

 

Akupun pulang dengan membawa segunung keresahan yang sangat menyesakkan dada. Naluriku sebagai wanita sudah sedemikian kuat menangkap firasat buruk yang akan terjadi. Kendati begitu, ketika malam itu sekitar pukul setengah sembilan Mas Ramlan datang, aku tetap berusaha melayaninya dengan baik. Seperti biasa kutemanj ia makan malam. Setelah istirahat sebentar sambil nonton televisi, ia kemudian mengajakku sholat Isya berjamaah.

 

Selepas sholat berjamaah, aku sengaja menggunakan waktu yang baik ini untuk mengorek keterangan dari mulut suamiku.

 

“Mas, aku ingin menanyakan sesuatu padamu. Tapi kumohon, jawablah dengan jujur,” kataku memulai perbincangan.

 

“Sepertinya serius sekali. Jeng mau tanya soal apa?” jawab Mas Ramlan sambil menatapku dengan mesra. Sejak masa pacaran dulu ia memang selalu memanggilku dengan sebutan Jeng.

 

“Siapa perempuan itu, Mas?” tanyaku, menusuk pada soal yang sebenarnya. Jujur saja, aku sudah hampir tak kuat memendam perasaanku.

 

“Perempuan yang mana?” seperti tanpa dosa Mas Ramlan balik bertanya.

 

“Perempuan dengan anak lima tahunan itu, Mas?”

 

Mas Ramlan malah mencoba tertawa. “Aku bingung dengan pertanyaanmu ini, Jeng. Apa sih maksudnya dengan perempuan dan anak lima tahun itu?”

 

Kutarik nafas dalam-dalam untuk meredam gemuruh dalam dadaku. Sambil menahan nyeri di hati, kubeberkan semua yang kulihat sore tadi saat berada di rumah sakit.

 

“Sore tadi aku melihat Mas dengan perempuan muda dengan rambut dipotong pendek tergerai, dia mengenakan rok biru kembang-kembang, bersepatu hitam, pipinya diberi rona merah, dan bibirnya berlipstik merah jambu. Dan Mas juga menggendong anak laki-laki berusia lima tahunan. Katakan, siapa mereka itu, Mas?”

 

Paras Mar Ramian seketika berubah pucat. Ketenangan sikap dan pembawaannya seketika itu pula hilang, berubah menjadi kegugupan. Lidahnya pun seolah-olah mendadak kelu.

 

“Mengapa Mas begitu tega menghianatiku? Mengapa Mas menyimpan bangkai busuk di dalam rumah tangga kita? Mengapa Mas tega membohongi anak-anak kita?” protesku dengan air mata menganak sungai di atas wajahku.

 

“Aku memang salah padamu, Jeng. Tapi aku melakukan semua ini juga bukan tanpa alasan. Aku siap mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan, anak-anak, juga dirimu,” jawab Mas Ramlan yang sepertinya mulai dapat menguasai diri.

 

Perdebatan ini sengaja tak kulanjutkan. Mungkin karena hatiku yang terlampau sakit, sehingga aku tak mampu lagi untuk mengutarakannya dengan kata-kata. Lebih dan itu aku juga tak ingin anak-anak mendengar pertengakaran kedua orang tuanya. Bagiku hal ini harus benar-benar dipendam, terlebih lagi ketiga anakku yang kesemuanya perempuan itu sudah beranjak dewasa. Segenting apapun perselisihanku dengan ayah mereka, maka mereka sedikitpun tak boleh tahu atau mendengar hal tersebut.

 

Walau Mas Ramlan tidak memberikan jawaban yang tegas atas pertanyaanku, namun bisa kupastikan kalau perempuan yang kulihat di rumah sakit itu pasti adalah isteri mudanya, sedangkan anak laki-laki itu jelas adalah buah dari perkawinan mereka. Mengingat usia anak itu yang kuperkirakan sudah hampir lima tahunan, maka mungkin seusia itu pula lebih kurang umur perkawinan antara Mas Ramlan dengan perempuan itu. Dan yang sungguh menyakitkan, selama waktu itu pula ia telah bersandiwara di hadapanku, juga di depan ketiga orang anakku.

 

“Tuhan, mengapa kau timpakan cobaan ini kepada kami? Apakah kami semua akan sanggup menjalaninya? Kuatkanlah kami Ya Allah…” Doaku dengan air mata bercucuran. Betapa aku galau menghadapi keadaan ini. Di satu sisi aku tak ingin dipohgami dan aku ingin memberontak, namun di sisi yang lain aku harus mampu menjaga rahasia ini di hadapan anak-anak, sebab aku tak ingin batin mereka terpukul sehingga bisa berakibat menganggu prestasi belajar mereka, bahkan tidak menutup kemungkinan akan menghancurkan masadepan mereka.

 

Sebagai seorang yang setidaknya mengerti dan memahami hukum-hukum agama yang kuanut, kucoba menerima kenyataan ini. Ya, kucoba menguatkan hati untuk bersedia dipolgami, sebab ini toh bukanlah suatu perbuatan dosa. Di samping itu sulit bagiku untuk bisa membujuk Mas Ramlan agar bersedia menceraikan isteri mudanya itu.

 

“Lebih baik kau bunuh saja aku daripada kau paksa aku untuk menceraikannya, Jeng. Bukan semata-mata karena cinta, tapi dosa besar hukumnya bagi suami yang menelantarkan isteri dan anaknya,” dalihnya ketika aku berusaha membujuknya.

 

“Kau bisa membawa anakmu itu tinggal bersama kita di sini, Mas. Kita bilang saja kepada anak-anak kita itu adalah anak yang kita adopsi dan panti asuhan, sebab kita memang sangat menginginkan punya keturunan laki-laki,” desakku.

 

Mas Ramlan menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya dengan tegas. “Betapa hinanya aku bila sampai hati melakukan hal itu, Jeng. Pokoknya, aku tak mungkin memisahkan anak itu dengan ibu kandungnya. Dia masih sangat membutuhkan kasih saya ibunya.”

 

Aku tahu pasti bagaimana Mas Ramlan. Ia selalu memegang teguh penderiannya. Karena itulah mustahil bagiku untuk bisa mematahkan prinsip dan keteguhan hatinya. Tetapi, aku juga tak mungkin selamanya terus berjuang dengan perasaan cemburu dan sakit hati walau bagaimana pun aku harus mencar jalan keluar untuk memisahkan Mas Ramlan dengan isteri mudanya itu.

 

Jalan terkutuk itupun akhirnya harus kutempuh.

 

Berkat bantuan Tanti, teman akrabku semasa SMA dulu, aku dipertemukan dengan Mbah Wiji, seorang dukun perempuan yang tinggal di daerah Kudus. Selain pakar membuat guna-guna untuk menaklukkan pria atau wanita, ia juga tak kalah pakar dalam urusan memutuskan cinta. Termasuk memisahkan cinta antara seorang suami dengan isteri mudanya. Soal terakhir itulah yang tentu saja kuiginkan.

 

“Memang tak enak kalau harus merokok sebatang berdua. Habis mengisapnya harus bergantian,” katanya setelah kujelaskan maksud kedatanganku menemuinya, sambil berulang kali ia terkekeh.

 

Tak kupedulikan kata-katanya yang bernada menjijikan itu. Yang penting bagiku adalah bisa secepatnya mendapatkan pertolongan darinya.

 

“Tolonglah pisahkan suami saya dengan isteri mudanya itu, Mbah!” mohonku lagi.

 

“Gampang… gampang itu. Yang penting kau harus melaksanakan petunjukku. Apa kau bersedia?” tandasnya.

 

Aku mengangguk dengan pasti.

 

Tampaknya, Mbah Wi sudah menyiapkan segala sesuatunya. Untuk menyelesaikan problem yang kualami ia sepertinya hanya membuat ritual sederhana, yaitu dengan sebutir kemenyan dengan ukuran sebesar telur ayam kampung. Ia lalu berkata sambil menunjukkan kemenyan itu padaku, “Ini namanya kemenyan Endog Jagat. Aku akan menumbuknya sampai halus, dan memberinya mantera guna-guna agar suamimu membenci isteri mudanya itu Gan segera meninggalkannya. Apa kau setuju?”

 

Aku mengangguk lagi. “Suami saya itu sudah keterlaluan, Mbah. Sudah hampir lima tahun lamanya dia membohongiku!” kataku pula, menegaskan.

 

Mulut Mbah Wiji yang bersemu hitam dan merah akibat kebiasaannya mengunyah daun sirih itu mulai kumat. kamit membacakan mantera yang tidak jelas apa isinya. Sementara itu, tangannya yang kurus dengan uraturat bersembulan itu mulai menumbuk kemenyan sebesar telur ayam tadi.

 

Setelah selesai, Mbah Wiji memberikan bubuk kemenyan itu padaku.

 

“Kemenyan ini harus kau sebarkan di sekitar tempat tidur suamimu. Jangan lupa campurkan juga ke dalam minuman atau makanannya. Ingat, jangan sampai suamimu tahu!” suruhnya sambil menatapku.

 

“Baiklah, Mbah!” ujarku sambil kemudian memberikan amplop berisi uang, untuk kemudian pamit pulang.

 

Sesampainya di rumah, segera kubersihkan kamar. Tanpa sepengetahuan siapapun, kutaburkan bubuk putih itu di atas kasur persis pada posisi Mas Ramlan biasa tidur. Setelah itu kututupi dengan spray baru yang masih wangi. Hatiku dag-dig dan bertanya: Apakah mungkin ritual sederhana yang nampaknya tidak masuk akal ini akan berhasil?

 

Malamnya, ketika Mas Ramlan pulang seperti biasa kuhidangkan kopi susu kesukaannya. Namun, kal ini tentu dengan racikan berbeda, sebab di dalam Kopi itu sudah kutaburi bubuk kemenyan sakti pemberian Mbah Wiji.

 

Begitulah yang terjadi hampir seminggu lamanya. Mulanya aku ragu dan merasa tertipu oleh akal bulus Mbah Wiji. Namun, pas hari kelima, kudapati Mas Ramian pulang lebih cepat. Sebelum Magrib ia sudah ada di rumah. Padahal biasanya ia selalu pulang di atas pukul delapan, sebab pasti harus mampir dulu di rumah isteri mudanya.

 

“Kok pulang cepat, Mas?”

 

“Kepalaku pusing, Jeng!” jawabnya sambil meringis menahan sakit.

 

Aneh, sejak hari itu Mas Ramlan memang selalu pulang lebih awal. Bahkan suatu malam tanpa aku tanya, ia menjelaskan bahwa isteri mudanya dan juga anaknya telah ia pulangkan ke Cilacap, ke tempat orang tuanya. Rupanya, sewaktu mengerjakan proyek di Cilacap beberapa tahun silam, Mas Ramlan kepincut pada gadis itu dan kemudian menikahinya hingga dikaruniai seorang anak laki-laki.

 

Sejujurnya, mendengar pengakuan Mas Ramlan itu hatiku bersorak penuh kebahagiaan. Dalam hati aku juga mulai menganggumi kehebatan ilmu Mbah Wjji, sang dukun perempuan itu.

 

Tetapi… sekian lamanya waktu berlalu, aku mulai menyadari bahwa diriku telah terjerumus ke dalam dosa dan kesesatan. Dengan kekuatan gaib dari kemenyan pemberian Mbah Wiji itu, aku memang bisa membuat suamiku berubah benci pada isteri mudanya, bahkan kemudian memulangkannya ke Cilacap, namun sebagai akibat dari itu aku juga telah mengubah pribadi Mas Ramlan secara keseluruhan. Ia menjadi pemurung, sering melamun dan sering pula kudengar menggumam sendiri, bahkan lebih dari itu ia juga jadi malas beribadah.

 

Apakah ini sebagai akibat dari pengaruh mantera guna-guna yang dititipkan Mbah Wiji lewat bubuk kemenyan itu?

 

Keyakinanku memang demikian. Dan didorong oleh keyakinan itu pula aku kembali mendatangi Mbah Wiji untuk meminta agar ia mencabut pengaruh guna-guna itu dari tubuh suamiku. Tetapi, apa jawabnya?

 

“Bukankah dulu engkau telah menyetujui caraku ini?” tanyanya sambi memandangku dengan tajam.

 

“Iya, Mbah! Tapi saya menyesal,” jawabku sambil tersipu.

 

“Menyesal atau tidak itu sudah menjadi resikomu. Kalau mau merokok sebatang sendirian, kan memang harus ada resiko. Batuk-batuk, misalnya. Jujur saja, Mbah tidak bisa menghilangkan guna-guna itu, sebab sudah termakan oleh suamimu dan sudah mendarah daging di dalam tubuhnya.”

 

Jawaban Mbah Wiji membuatku hampir saja menangis. Aku tak menyangka kenyataannya akan berujung seperti ini…

 

Ketika kutuliskan catatan hitamku yang getir ini, maka peristiwa itu sudah berlalu lebih dari setengah tahun lamanya. Ya, Mas Ramlan benar-benar telah melupakan isteri dan anak lelakinya yang sangat ia sayangi itu. Sedikitpun ja tak pernah lagi menyinggung keberadaan mereka.

 

Namun di balik itu semua, aku sendiri merasa telah kehilangan Mas Ramlan, sebab ia sudah tak lagi seperti dulu. Aku seperti tak mendapatkan sosok Ramlan Muchtar lama di sisiku. Ia lelaki pemurung, pelamun, dan jauh dari sentuhan agama. Lebih dari itu ia juga menjadi dingin di atas ranyang. Ya, Tuhan… aku tentu berdosa besar sebab telah mengguna-gunai suamiku sendiri hanya karena kebutaan imanku.

 

Aku ingin mendapatkan suamiku seperti dulu lagi, walau takdir menentukan diriku harus dipoligami. Aku percaya ini ketentuan Allah SWT, sebab Dia-lah yang mengatur jodoh setiap makhluknya, dan aku merasa mungkin suamiku memang ditakdirkan untuk berjodoh atau menikahi lebih dari seorang Wanita.

 

Semoga pula tak ada isteri-isteri lain yang mengalami kenyataan pahit seperti apa yang kualami. Aamiin. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: susuk.online
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Panggonan Wingit: IKAN ANEH DI SUMBER AIR KERAMAT

KyaiPamungkas

Cara Mudah Menarik Benda Pusaka

adminruqyah

Panggonan Wingit: KEMARAHAN PENUNGGU GAIB PLTU REMBANG

KyaiPamungkas
error: Content is protected !!