Kisah Kyai Pamungkas: KEMATIAN PEMAKAN HARTA ANAK YATIM
KARENA MEMAKAN HARTA ANAK YATIM, DIA MATI DALAM KEADAAN YANG SANGAT TRAGIS. TANGAN DAN KAKINYA LEPAS DARI PERSENDIAN, PERUTNYA DIPENUHI BELATUNG. MAYATNYA MENEBARKAN BAU TERAMAT BUSUK…!
MUHARAM yang merupakan bulan pertama dalam kalender Hijriyah disebutkan sebagai bulannya anak yatim. Ada juga yang menyebut tanggal 10 Muharam sebagai hari raya anak yatim. Biasanya, momentum ini diperingati oleh lembaga atau orang-orang penderma, untuk mendermakan hartanya bagi anak-anak yatim. Tradisi keagamaan ini sudah cukup mendarah daging di kalangan pemeluk Islam di seluruh penjuru dunia. Meski tidak ada kaitannya dengan tradisi 10 Muharam, kisah berikut ini masih berhubungan erat dengan keberadaan anak-anak yatim di sekitar kita. Kehadiran mereka memang tidak boleh kita sia-siakan. Apalagi kalau sampai kita tega hati memakan harta atau rezeki yang diperuntukan bagi mereka. Niscaya Allah akan memberikan azab yang amat pedih bagi siapa saja yang melakukan larangan ini.
Setidaknya, hal tersebut tercermin jelas dalam kisah nyata yang dituturkan oleh Omon Suparman ini. Berikut paparan lengkapnya yang sengaja penulis kemas dalam bentuk pengakuan…
Desa tempatku tinggal adalah sebuah desa yang amat subur. Hasil pertanian berupa padi begitu melimpah, meski sebagian besar areal persawahan telah dikuasai oleh para orang kaya baik yang masih tinggal di kampung, maupun yang tinggal di kota.
Salah seorang yang memiliki areal persawahan yang lumayan luas sebut saja adalah Haji Sarta. Kepada orang inilah aku bekerja selama bertahun-tahun. Bahkan, boleh dikatakan aku ini sebagai tangan kanannya, atau orang kepercayaannya.
Masyarakat di desa tempatku tinggal yang berada di pedalaman Majalengka, Jawa Barat, ini memang terkenal amat guyub atau kompak. Salah satunya dalam melestarikan tradisi yang disebut Parelek. Apa yang disebut parelek adalah kesepakatan warga menyisihkan hasil panen sawahnya untuk kepentingan bersama. Banyak sedikitnya tidak ditentukan. Yang penting semua warga yang mempunyai sawah garapan diwajibkan memberikan parelek. Setelah terkumpul parelek ini biasanya digunakan untuk pembangunan masjid, mushola, irigasi, atau jalan kampung.
Sampai suatu ketika, muncul gagasan dari Haji Sarta agar parelek digunakan untuk pembangunan madrasah yang dikhususkan bagi anak-anak yatim. Karena gagasan ini dianggap brilian, maka semua warga pun menyetujuinya. Bahkan Pak Kades kemudian menunjuk Haji Sarta sebagai ketua merangkap bendahara pengumpulan parelek. Warga pun menerimanya dengan senang hati.
Karena sistem irigasi yang baik, sawah di desaku bisa panen dua kali dalam setahun. Setiap panen itulah para penduduk menyetorkan parelek-nya berupa gabah kering ke rumah Haji Sarta. Biasanya, ukurannya dalam bentuk kalengan. Dan kaleng yang digunakan pun adalah kaleng bekas minyak goreng seukuran 20 liter.
Begitulah yang terjadi hampir selama 3 tahun. Semua penduduk dengan kesadarannya terus menyetorkan gabah ke rumah Haji Sarta, dengan jumlah kalengan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Inti yang terpenting, mereka semuanya ikhlas memberi untuk beramal soleh. Secara kebetulan, aku adalah orang yang dipercaya Haji Sarta untuk mencatat setiap setoran parelek yang masuk.
Sampai tahun ketiga rencana pembangunan mushola itu ternyata belum juga terwujud.
Hal ini menimbulkan kegelisahan di sejumlah warga, terutama mereka yang menyetor parelek dalam jumlah besar. Pak Kades yang agaknya telah melihat kegelisahan warganya ini segera berinisiatif untuk menggelar pertemuan di balai warga.
Menjelang hari pelaksanaan pertemuan itu, Haji Sarta memanggilku. Dia meminta buku Catatan parelek yang kubuat. Setelah kuberikan, Haji Sarta merampasnya, dan menggantinya dengan buku baru, yang catatan-catatan penerimaan parelek dia buat sesuka hatinya sendiri.
“Ingat, dalam pertemuan warga tadi kau harus membacakan catatan yang aku berikan itu. Bacakan saja sesuai dengan jumlah penerimaan yang kutulis, katanya.
“Tapi, Pak Haji…”
“Sudah, jangan pakai tapi-tapian!” Potongnya. Dia lalu mengancam, “Ingat, kau harus membacakan semua catatan itu. Kalau tidak, rasakan sendiri akibatnya.”
Melihat keseriusan Haji Sarta, aku tak berani lagi membantahnya. Tetapi dalam hati aku merasa amat sedih melihat tingkah laku majikanku ini. Bayangkan saja, catatan yang dibuatnya sama sekali tidak sesuai dengan catatan penerimaan parelek dari warga yang selama ini kucatat dengan tertib. Bahkan dari sisi jumlah, jelas sekali ada perbedaan yang amat mencolok. Ringkas kata, Haji Sarta telah mengkorupsi hasil pengumpulan parelek tersebut.
Aku juga semakin sedih, bahkan dibayangi ketakutan ketika rapat warga itu digelar. Pertama karena aku telah membohongi warga dengan membacakan jumlah hasil parelek yang sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan. Yang kedua adalah karena kesedihanku melihat kelakuan Haji Sarta yang benar-benar sangat keterlaluan. Dalam rapat ini Haji Sarta mengatakan bahwa jumlah parelek yang telah diterima seluruhnya dipakai untuk membeli tanah yang akan digunakan untuk lokasi pembangunan madrasah. Bahkan, uang hasil penjualan gabah itu masih jauh dari mencukupi untuk melunasi pembelian tanah tersebut.
Mengapa aku harus merasa sedih terhadap perkataan Haji Sarta ini? Aku masih ingat persis bahwa saat pertemuan pertama diadakan di hadapan warga Haji Sarta menyebutkan bahwa dia akan mewakafkan tanahnya untuk pembangunan madrasah itu. Tapi, mengapa sekarang dia memberikan kesaksian yang berubah?
Banyak juga warga yang kecewa dan menganggap Haji Sarta telah mengingkari janjinya. Lalu, apa jawabannya?
“Waktu itu saya berkata demikian dengan harapan akan ada sumbangan dari pemerintah untuk pembelian tanah yang akan kita jadikan sebagai lokasi pembangunan madrasah. Sedianya, kalau sumbangan itu turun, maka akan saya jadikan sebagai dana pengganti tanah saya. Karena ternyata tidak ada sumbangan tersebut, maka saya mengambil inisiatif untuk memanfaatkan perolehan parelek sebagai pengganti harga tanah saya. Lagi pula tanah itu saya jual dengan harga di bawah pasaran. Demi Allah, badan saya ini akan mereteli (putus satu demi satu-Pen) kalau ada satu rupiah saja dari dana untuk anakanak yatim itu yang saya pergunakan untuk kepentingan pribadi saya.”
Mendengar penjelasan Haji Sarta itu semua hadirin terdiam. Tapi aku yakin dalam hati mereka tetap menyesalkan sikap Haji Sarta yang nyata-nyata telah membohongi masyarakat. Sikap diam warga juga turut dipengaruhi dengan kearifan Pak Kades dalam memimpin rapat.
“Kita akan membangun Madrasah untuk anak-anak yatim, jadi kita tidak perlu berselisih paham untuk tujuan mulia ini. Kita terima saja alasan Pak Haji Sarta, dan kita tetap berjuang untuk mewujudkan cita-cita ini. Ingat Bapakbapak, Allah tidak akan pernah salah membalas setiap kebaikan yang kita perbuat dengan pahala dan kebaikan yang berlimpah. Demikian pula Allah takkan pernah keliru memberikan azab dan dosa kepada setiap kita yang berbuat kejahatan, kendatipun itu hanya sebesar biji zarah.”
Kata-kata Pak Kades itu sudah cukup untuk mencairkan keadaan. Aku sendiri. merasakan kata-kata itu sebagai godam yang menghantam batinku. Kurasakan sekujur tubuhku merinding, karena aku pun secara tak sengaja telah terlibat dalam kebohongan yang dilakukan oleh majikanku. Entahlah bagi Haji Sarta yang nyata-nyata telah berbuat licik dalam masalah ini.
Seolah tak pernah terjadi apa-apa, musim panen berikutnya para penduduk tetap berduyun-duyun menyetorkan pareleknya ke rumah Haji Sarta. Seperti hari kemarin, aku pun dengan teliti mencatat semua penerimaan parelek tersebut. Sekitar sebulan setelah musim panen berlalu, Haji Sarta kembali meminta catatan parelek yang kubuat. Kali ini dia tidak menggantinya dengan catatan yang baru. Dia malah memberiku uang dengan jumlah yang bagiku cukup menggiurkan.
“Uang apa ini, Pak Haji!” Tanyaku memberanikan diri. “Uang lelah! Kamu kan yang selama ini mengurusi pemasukan parelek-parelek itu,” jawabnya.
Aku diam dengan batin berkecamuk. Sampai kemudian Haji Sarta kembali berkata, depan aku dan keluargaku akan berangkat ke Jakarta. Aku akan membuka usaha di sana, Aku harap kau bisa ikut serta, Omon!”
“Lantas bagaimana dengan parelek-parelek warga itu, Pak Haji? Mereka pasti akan menanyakannya kalau Pak Haji pergi ke Jakarta?” Tanyaku.
Sambil menghembuskan asap cerutunya, Haji Sarta berkilah, “Ah, tidak usah kau pikirkan hal itu. Nanti juga aku akan balik lagi ke desa ini. Memangnya kamu pikir aku mau selamanya di Jakarta. Ingat, kata pepatah, setinggi-tinggi bangau terbang dia pasti akan kembali ke sarangnya. Apalagi aku, manusia. Aku pasti rindu dengan kampung halamanku.”
Sekali lagi aku terdiam, sebab sebagai orang gajiannya, selama ini aku memang begitu patuh padanya, bahkan dengan kepatuhan yang disertai rasa takut. Sebab aku tahu Haji Sarta adalah seorang yang amat pemberang. Dia juga kabarnya memiliki ilmu-ilmu kadigdayaan yang ampuh. Karena itu, hampir semua warga desa, bahkan termasuk Pak Kades sendiri, sungkan terhadap Haji Sarta.
Tetapi yang paling penting, diamku adalah diam dengan kecamuk batin yang amat hebat. Aku tahu pasti, uang itu sesungguhnya bukanlah uang sebagai pengganti lelah karena aku telah mencatat setiap parelek yang masuk. Akan tetapi uang itu dimaksudkan sebagai uang tutup mulut, agar aku tidak membocorkan rencana kepergian Pak Sarta. Bisa juga dimaksudkan agar aku tidak buka mulut kepada warga dengan mengatakan bahwa seluruh gabah hasil parelek telah dijual kepada tengkulak, dan uang hasil penjualan itu rencananya akan digunakan untuk tambahan modal usaha oleh Haji Sarta.
Ah, betapa batinku menangis dengan semua persoalan ini. Tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali mengadu kepada Enah, isteriku. Syukur Alhamdulillah, perempuan yang sudah 12 tahun mendampingiku dalam suka duka ini akhirnya memberiku pilihan yang terbaik. Ya, Enah menyarankan agar aku berhenti bekerja, dan sekaligus mengembalikan uang itu. Sebab uang tersebut adalah uang haram!
Meski dengan rasa takut, akhirnya kuturuti juga saran Enah. Pagi itu kutemui Haji Sarta dar kuutarakan niatku yang ingin berhenti bekerja. Dalam kesempatan yang sama, kukembalikan juga uang 300 ribu rupiah yang kemarin dia berikan padaku.
Haji Sarta marah besar. Bahkan kalau saja Hajjah Maesaroh, isterinya, tidak segera muncul, dia nyaris saja menghajarku. Dengan kemarahan yang cukup meledak-ledak, dia akhirnya mengusirku.
Sejak itulah aku berhenti bekerja pada Haji Sarta. Dan dua hari setelah kejadian itu, Pak Haji yang tamak ini memang memboyong keluarganya ke Jakarta….
“SETINGGI-TINGGI bangau terbang dia pasti akan kembali ke sarangnya.” Itulah peribahasa yang diucapkan Haji Sarta di hadapanku sebelum dia pergi ke Jakarta. Dan dia memang menepatinya. Ya, setelah hampir 4 tahun lamanya dia merantau ke Jakarta, di penghujung tahun 1998, Haji Sarta memang kembali pulang ke kampung halamannya. Tetapi dia kembali bukan sebagai Sarta yang dulu, Sarta yang gagah dengan postur tubuh tinggi besar dan kulit kuning langsat. Sarta yang kini adalah Sarta yang wajah dan hampir seluruh tubuhnya dipenuhi belang bekas luka bakar.
Menurut cerita yang sempat kudengar dari Mak Iyah, pembantu yang setia mengabdi pada keluarga Haji Sarta, bekas-bekas luka bakar yang ada di tubuh majikannya adalah akibat peristiwa 11 Mei 1988 yang meledak di Jakarta.
“Toko pakaian Pak Haji dibakar massa. Untung Pak Haji bisa menyelamatkan diri, meskipun dia harus menderita seperti itu,” kata perempuan berusia hampir kepala enam itu.
Apakah itu azab bagi Haji Sarta yang nyata-nyata telah memakan hak anak yatim? Setidaknya, desas-desus ini memang merebak di lingkungan warga desaku. Dan desas-desus ini semakin santer di saat ajal menjemput Haji Sarta.
Kematian Pak Haji Sarta sungguh suatu kenyataan yang amat menyeramkan. Waktu itu aku sempat melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana keadaan jenazahnya. Hi… menjijikan sekali!
Dari perkawinannya dengan Hajjah Maesaroh, Haji Sarta dikaruniai tiga orang anak yang seluruhnya perempuan. Karena itulah untuk memandikan jenazahnya perlu bantuan seorang lelaki. Karena aku pernah mengabdi pada almarhum, maka Hajjah Maesaroh memintaku untuk membantu memandikan mayatnya. Aku sendiri dengan ikhlas menerima permintaan itu. Apalagi menurut dugaanku, memandikan mayat bukanlah tugas yang terlalu merepotkan, meski cukup untuk menimbulkan perasaan ngeri.
Tetapi, dugaanku itu 100 persen salah. Tugas memandikan mayat kali ini sama sekali berbeda, jauh dari biasanya. Ketika aku membantu tukang memandikan mayat yang sebut saja bernama Pak Misna, maka kengeriai yang menjijikan itu terpampang jelas di depan mataku.
Betapa tidak, ketika Pak Misna menarik lengan Haji Sarta yang kaku Itu untuk disedakepkan di atas dadanya, maka seketika lengan itu putus di kedua sikunya. Bahkan ketika Pak Misna mengusap wajah jenazah dengan sabun dan bermaksud akan membersihkannya, maka, di luar dugaan hidung Haji Sarta yang mancung itu copot, sehingga menampakkan lobang yang Gerowong dan dipenuhi belatung.
Kedua kaki jenazah juga copot pas pada bagian lututnya ketika Pak Misna berusaha meluruskannya. Tapi yang paling mejijikan adalah ketika Pak Misna menekan perut jenazah dengan maksud mengelurkan sisa-sisa kotoran, di luar dugaan, perut itu ambrol dengan ribuan ekor belatung yang mungkin telah lama mengeram di dalamnya. Ambrolnya perut inilah yang kemudian menebarkan bau teramat busuk, bahkan jauh lebih busuk dari puluhan bangkai hewan.
Pak Misna yang sudah biasa memandikan mayat langsung muntah-muntah dibuatnya. Karuan pula aku. Bahkan, orang-orang yang berdiri agak jauh banyak yang ikut muntah-muntah karena bau busuk itu.
Dalam suasana menegangkan, sekaligus menjijikan itu, aku teringat ucapan Haji Sarta beberapa tahun silam di hadapan rapat warga, “….Demi Allah, badan saya ini akan mereteli (putus satu demi satu-Pen) kalau ada satu rupiah saja dari dana untuk anak-anak yatim itu yang saya pergunakan untuk kepentingan pribadi saya!”
Apakah ini hukuman dari sumpah palsunya itu? Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui!
Kenyataan selanjutnya adalah sebuah peristiwa yang sama sekali sulit diterima nalar. Gara-gara bau busuk yang berasal dari jenazah Haji Sarta, maka berkarung-karung kopi bubuk ditebar di sekitar ruangan dan halaman rumah. Usaha ini memang sedikit membuahkan hasil. Ya, setidaknya bau busuk itu tidak terlampau menyengat.
Setelah jenazah dikafani dengan sangat darurat, mengingat kondisi dan bau busuk itu, akhirnya tibalah saat penguburan. Aku sendiri sempat ikut menjadi pemikul keranda mayat bersama tiga orang pemuda kampung lainnya. Memang, tak terjadi apa-apa dalam perjalanan menuju lokasi pemakaman. Keanehan justeru terjadi setelah prosesi penguburan selesai dilangsungkan.
Ketika Pak Ustadz yang memimpin prosesi pemakaman belum selesai membacakan doanya, tiba-tiba dari dalam tanah kuburan yang masih gembur itu bermunculan ribuan ekor belatung. Ulat-ulat putih menjijikan itu seakan berebut berlompatan keluar dari dalam kuburan. Entah apa yang terjadi di dalam sana terhadap jenazah Haji Sarta.
Yang pasti, gara-gara kejadian yang tidak lazim ini, para pengiring jenazah pun segera berlarian pergi. Bahkan, Pak Ustadz pun terpaksa harus mempersingkat doanya…
Akibat kejadian tersebut, tak seorang pun yang sudi melihat kuburan Haji Sarta. Menurut cerita yang sempat kudengar, bahkan hingga kini kuburan Haji Sarta masih menebarkan bau busuk seperti bangkai. Apakah cerita ini benar? Karena satu dan lain hal, aku sendiri memang belum sempat membuktikannya secara langsung.
Semoga, kita semuanya bisa mengambil hikmah dari kisah nyata Ini. Setidaknya, kita menyadari bahwa janji Allah memang nyata adanya.
“Allah tidak akan pernah salah membalas setiap kebaikan yang kita perbuat dengan pahala dan kebaikan yang berlimpah. Demikian pula Allah takkan pernah keliru memberikan azab dan dosa kepada setiap kita yang berbuat kejahatan, kendatipun itu hanya sebesar biji zarah.”
Demikian nasihat Pak Kades yang hingga kini selalu saja kuingat. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: susuk.online
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)