Panggonan Wingit: SUNAN SENDANG DUWUR LAMONGAN
Walau terletak di ketinggian, namun makam sosok yang menyandang nama Raden Noer Rahmad yang berasal dari Baghdad, Irak, terasa mudah bisa dijangkau dengan kendaraan…
Pahatan di dinding makam sunan Sendang Duwur telah menggambarkan dengan jelas dari mana sosok tersebut berasal. Bangunan berarsitektur perpaduan antara kebudayaan Hindu dan Islam itu membuat siapa pun yang datang harus bisa merenung dengan jernih akan pesan-pesan atau ajaran yang ditinggalkan oleh Sunan Sendang Duwur.
Siapa pun tak bisa memepis, bahwasanya, penyebaran agama Islam di Tanah Jawa, tak dapat dilepasklan dari peran Sunan sendang Duwur, yang makam dan berbagai peninggalannya masih terdapat di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
Salah satu peninggalannya yang sampai sekarang masih menyimpan misteri adalah sebuah masjid kuno. Betapa tidak, berbeda dengan masjid-masjid lain yang ada, masjid kuno yang satu ini tidak dibangun secara bertahap oleh Sunan Sendang Duwur, malainkan, lewat suatu keajaiban yang sulit untuk dicerna oleh akal sehat.
Tutur yang berkembang di tengah-tengah masyarakat ada yang mengatakan, bahwa setelah diwisuda oleh Sunan Drajad, akhirnya, Raden Noer Rahmad pun lebih dikenal dengan sebutan Sunan Sendang Duwur.
Hingga suatu ketika, Raden Noer pun berharap dapat mendirikan sebuah masjid di Sendang Duwur untuk beribadah sekaligus sebagai pusat kegiatan syiar Islam di sana. Karena tidak memiliki kayu, maka, Sunan Drajad pun menyampaikan masalah tersebut pada Sunan Kalijogo yang langsung mengarahkannya kepada Ratu Kalinyamat atau Ratu Kencono Mantingan, Jepara, yang saat itu sudah memiliki sebuah masjid.
Sebagaimana kita ketahui, Ratu Kalinyamat adalah merupakan putri Sultan Trenggono dari Keraton Demak Bintoro, sedang suaminya adalah Raden Thoyib, yang juga dikenal sebagai Sultan Hadlirin Soho, adalah cucu dari Raden Muchayat, Syech, Sultan dari Aceh. Saat diangkat menjadi bupati di Jepara, R. Thoyib pun tidak lupa melakukan syiar Islam.
Seturut dengan itu, pada 1531 Masehi, di wilayahnya, dibangun sebuah masjid megah yang membuat banyak ulama dan kyai di saat itu merasa kagum dengan keindahan dan kemegahan masjid tersebut.
Setelah mendapat saran dari Sunan Kalijogo, maka, Sunan Drajad pun memerintahkan Sunan Sendang Duwur segera pergi ke Jepara untuk menanyakan masjid tersebut.
Setelah saling memperkenalkan diri, Raden Noer mengutarakan niatnya. Dengan halus, Mbok Rondo Mantingan pun berkata: “Hai … anak bagus, mohon dipahami, aku tidak sekali-kali berniat untuk menjual masjid ini.”
“Namun, almarhum suamiku berpesan, siapa saja yang bisa memboyong masjid in tanpa bantuan orang lain dalam keadaan utuh dan waktu semalam, maka, masjid ini akan diberikan dengan secara cuma-cuma,” imbuh Mbok Rondo Mantingan tetap sambil tersenyum.
Bagi Sunan Sendang Duwur yang kala itu masih muda, jawaban Mbok Rondo Mantingan adalah merupakan tantangan yang demikian halus bagi dirinya.
Tanpa ragu, ia pun menjawab dengan mantap, tegas dan santun.
“Semoga, atas izin Allah, apa yang dikatakan oleh Mbok Rondo Mantingan, dapat saya penuhi.”
Dan benar, atas izin Allah, tidak lebih dari satu malam, masjid tersebut berhasil diboyong ke Bukit Amitunon, Desa Sendang Duwur. Masjid Sendang Duwur pun berdiri ditandai dengan surya sengkala yang berbunyi: gunaning seliro tirti hayu, yang berarti menunjukkan angka tahun 1483 Saka atau 1561 Masehi.
Sebagaimana kehidupan di dunia yang serba mendua, begitu juga cerita tentang masjid kuno yang sampai sekarang berdiri dengan kokoh di Bukit Amitunon. Cerita lain menurutkan, masjid itu sengaja dibawa oleh rombongan para santri atas perintah Sunan Drajad dan Sunan Sendang Duwur lewat laut dari Mantingan menuju ke Lamongan dalam waktu semalam.
Kala itu, rombongan diminta untuk mendarat di pantai yang penuh bebatuan mirip kodok, sekarang dikenal dengan sebutan Tanjung Kodok, di sebelan utara Bukir Amitunon, Sendang Duwur.
Setibanya di sana, rombongan dari Mantingan disambut oleh Sunan Drajad dan Sunan Sendang Duwur beserta seluruh pengikutnya dengan penuh suka Cita. Sebelum meneruskan perjalanan membawa masjid ke bukit Amitunon, maka, rombongan dari Mantingan diminta untuk melepaskan lelah.
Saat itu, Sunan Drajad dan Sunan Sendang Duwur beserta dengan seluruh pengikutnya menjamu rombongan dari Mantingan dengan ketupat (kupat-Jw) dan legen, minuman segar khas daerah setempat.
“Silakan beristirahat sambil menikmati hidangan kami yang tak seberapa ini,” demikian kata salah seorang santri Sunan Sendang Duwur kepada rombongan yang datang dari Mantingan.
“Ini sudah lebih dari cukup ki sanak,” demikian ucap salah seorang rombongan dari Mantingan, mewakili teman-temannya.
Mereka pun menyantap hidangan itu dengan penuh suka cita. Agaknya, berawal dari peristiwa ini, kini, tiap tahun, di Tanjung Kodok yang sekarang menjadi areal wisata bahari unggulan Kabupaten Lamongan, digelar upacara kupatan yang mengandung makna, betapa dengan kesatuan dan persatuan, maka segalanya pasti bisa diraih dengan cepat dan selamat.
Ya … kandungan filosofi upacara kupatan yang diadakan tiap tahun di Tanjung Kodok, tanpa terasa, adalah merupakan gerak hidup dan kehidupan seluruh masyarakat Lamongan khususnya.
Dengan halus, Mbok Rondo Mantingan pun berkata, “Hai … anak bagus, mohon dipahami, aku tidak sekali-kali berniat untuk menjual masjid ini.”
“Namun, almarhum suamiku berpesan, siapa saja yang bisa memboyong masjid ini tanpa bantuan orang lain dalam keadaan utuh dan waktu semalam, maka, masjid ini akan diberikan dengan secara cuma-cuma,” imbuh Mbok Rondo Mantingan tetap sambil tersenyum.
Bagi Sunan Sendang Duwur yang kala itu masih muda, jawaban Mbok Rondo Mantingan adalah merupakan tantangan yang demikian halus bagi dirinya.
Tanpa ragu, ia pun menjawab dengan mantap, tegas dan santun.
“Semoga, atas izin Allah, apa yang dikatakan oleh Mbok Rondo Mantingan, dapat saya penuhi.”
Dan benar, atas izin Allah, tidak lebih dari satu malam, masjid tersebut berhasil diboyong ke Bukit Amitunon, Desa Sendang Duwur. Masjid Sendang Duwur pun berdiri ditandai dengan surya sengkala yang berbunyi: gunaning seliro tirti hayu yang berarti menunjukkan angka tahun 1483 Saka atau 1561 Masehi.
Sebagaimana kehidupan di dunia yang serba mendua, begitu juga cerita tentang masjid kuno yang sampai sekarang berdiri dengan kokoh di Bukit Amitunon. Cerita lain menurutkan, masjid itu sengaja dibawa oleh rombongan para santri atas perintah Sunan Drajad dan Sunan Sendang Duwur lewat laut dari Mantingan menuju ke Lamongan dalam waktu semalam.
Kala itu, rombongan diminta untuk mendarat di pantai yang penuh bebatuan mirio kodok. sekarang dikenal dengan sebutan Tanjung Kodok, di sebelah utara Bukir Amitunon, Sendang Duwur.
Setibanya di sana, rombongan dari Mantingan disambut oleh Sunan Drajad dan Sunan Sendang Duwur beserta seluruh pengikutnya dengan penuh suka cita. Sebelum meneruskan perjalanan membawa masjid ke bukit Amitunon, maka, rombongan dari Mantingan diminta untuk melepaskan lelah.
Saat itu, Sunan Drajad dan Sunan Sendang Duwur beserta dengan seluruh pengikutnya menjamu rombongan dari Mantingan dengan ketupat (kupat) dan legen, minuman segar khas daerah setempat.
“Silakan beristirahat sambil menikmati hidangan kami yang tak seberapa ini,” demikian kata salah seorang santri Sunan Sendang Duwur kepada rombongan yang datang dari Mantingan.
“Ini sudah lebih dari cukup Ki Sanak,” demikian ucap salah seorang rombongan dari Mantingan, mewakili teman-temannya.
Mereka pun menyantap hidangan itu dengan penuh suka cita. Agaknya, berawal dari peristiwa ini, kini, tiap tahun, di Tanjung Kodok yang sekarang menjadi areal wisata bahari unggulan Kabupaten Lamongan, digelar upacara kupatan yang mengandung makna, betapa dengan kesatuan dan persatuan, maka segalanya pasti bisa diraih dengan cepat dan selamat.
Ya … kandungan filosofi upacara kupatan yang diadakan tiap tahun di Tanjung Kodok, tanpa terasa, adalah merupakan gerak hidup dan kehidupan seluruh masyarakat Lamongan khususnya dan Nusantara pada umumnya.
Hal tersebut tampak dengan jelas dan terjalani oleh tiap manusia, yakni untuk dapat menyantap kupat atau ketupat, maka, seseorang harus terlebih dahulu membuka kulit luarnya hal tersebut dimaknai dengan kerja keras. Selanjutnya, meminum legen yang manis dan segar adalah merupakan buah dari hasil kerja keras seseorang. Jika dirangkum, setelah bekerja keras, maka, seseorang pasti akan menikmati hasilnya.
Jika kita mau menoleh ke belakang barang sejenak, bahkan yang terjadi saat ini, kebanyakan, tak kurang pula, ada yang memotongnya dengan pisau. Hal ini, bisa saja dimaknai sebagai perubahan gaya hidup yakni, ingin mendapatkan kesenangan dengan melalui jalan pintas. Dan semuanya berpulang pada pribadi masing-masing, jalan mana yang hendak dipilihnya…
Seterusnya, dari masjid inilah Sunan Sendang Duwur melakukan syiar Islam. Dari sekian banyak ajaran, salah satunya yang sampai sekarang tak lekang dimakan zaman adalah: “Mlakuo dalan kang benar. Ilinggo wong kang sak mburimu,” yang secara harfiah mengandung arti: berjalanlah di jalan yang benar, dan ingatlah pada orang yang ada di belakangmu.
Ajaran ini menyiratkan pesan yang demikian dalam dan luas: semasa hidup, manusia dituntut untuk selalu berada di jalan yang benar, karena, apa yang diperbuat, bakal dicontoh atau ditiru oleh anak cucunya. Pesan yang sejatinya singkat itu, ternyata memiliki kandungan arti yang demikian luas.
Betapa tidak, pesan tersebut bisa saja diterjemahkan, para pemimpin harus mampu hidup di jalan yang lurus, agar generasi penerus tidak terjerumus atau, setelah bekerja keras dengan baik, jujur dan benar serta mendapatkan kenikmatan, maka, jangan sekali-kali melupakan sedekah dan banyak lagi yang lainnya.
Ajaran para Waliullah memang sarat dengan dengan simbol dan makna. Dan semuanya terpulang kepada diri masing-masing, maukah kita berpikir untuk mengurai atau hanya bisa mengatakan tanpa tahu akan maksudnya…
Kini, masjid yang berusia lebih dari 406 tahun, telah beberapa kali mengalami pemugaran. Walau begitu, masjid yang didirikan di Mantingan pada 1531 Maseh tetap saja mampu menggambarkan kebesaran pada zamannya. Suatu zaman, ketika para Waliullah dengan hati yang bersih dan tulus, mampu hidup berdampingan dan saling tolong menok dengan agama-agama lain. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: susuk.online
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)