Cerita Featured Kisah Kyai Pamungkas Uncategorised Uncategorized

Kisah Kyai Pamungkas: KAKEK MISTERIUS PENOLONG BUNG KARNO

Kisah Kyai Pamungkas: KAKEK MISTERIUS PENOLONG BUNG KARNO 

SI KAKEK MENYEBUT NAMANYA SEBAGAI WIRASAKTI DAN TELAH BERUSIA 106 TAHUN. DIA MENGAKU SUDAH TIGA KALI BERTEMU DENGAN BUNG KARNO, BAHKAN PERNAH MENOLONGNYA DI SAAT SAKIT, DIA JUGA MENEGASKAN BAHWA BUNG KARNO MASIH HIDUP…

 

Siang itu, untuk mengisi kekosongan waktu, penulis jalan-jalan ke pusat kota Bandung, Tempat yang dituju adalah kawasan bekas alun-alun, yang kini tengah disulap menjadi pelataran sekaligus taman utama Masjid Raya Bandung.

 

Dengan sebuah kamera digital, iseng-iseng penulis mengambil objek-objek yang menarik sebagai pelengkap dokumentasi pribadi. Di antara sasaran yang sempat diambil, adalah seputar suasana keramaian di pusat perbelanjaan Jalan Dalem Kaum. Di sini, masih ada bangunan-bangunan tua bersejarah yang masih tetap dilestarikan.

 

Tak terasa, hari mulat beranjak sore. Penulis pun memutuskan untuk meneruskan perjalanan menyusuri jalan paling terkenal di kota Bandung. Apa lagi kalau bukan Jalan Asia-Afrika.

 

Disaat langkah kaki persis di seberang jalan depan gedung bersejarah Gedung Merdeka, tiba-tiba saja perhatian penulis sempat terarah pada sesuatu pemandangan nyata, namun terasa ganjil. Ya, di depan teras gedung yang jadi tempat penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1955 itu, nampak seseorang tengah duduk. Persisnya seorang kakek yang sedang menunggui barang dagangannya berupa sepatu dan sandal loakan. Barang-barang dagangan yang sepertinya kurang berarti itu digelar begitu saja di trotoar jalan.

 

Mengapa penulis harus merasa aneh dengan keberadaan si kakek renta dengan barang dagangannya itu?

 

Ya, bagaimana tidak merasa aneh. Sebagai orang Bandung tulen penulis tahu persis bahwa gedung Sociteit Concordia atau Gedung Merdeka itu di samping merupakan gedung yang sangat bersejarah, sehingga senantiasa diawasi kebersihan dan keamanannya, juga merupakan kawasan atau merupakan tempat yang sangat terlarang bagi para pedagang kaki Ima. Lantas, mengapa kakek itu sepertinya merasa begitu aman berjualan di depannya, seolah tak takut sedikitpun terhadap petugas tramtib atau polisi?

 

Mendapati pemandangan yang tak lazirn ini, penulis tergelitik ingin mendekati si kakek. Setidaknya, penulis ingin tahu apa alasan si kakek sampai berani menggelar dagangan di tempat terlarang itu. Atau mungkin, pria renta itu memang tidak tahu dengan adanya larangan berjualan kaki lima di tempat tersebut?

 

Demi memuaskan rasa ingin tahu, penulis segera menyeberang jalan.

Dengan menganggukan kepala seraya tersenyum sebaga tanda penghormatan, penulis mendekati kakek renta yang umurnya mungkin di atas 70-an tahun itu Kendati demikian, dia masih nampak sehat dan bertenaga.

 

“Mangga, Cep! Perlu sepatu? Lihat-lihat saja dulu barangkali ada yang cocok!” Sapa si kakek berperawakan tingg kecil itu menyambut penulis.

 

Merespon tawaran tersebut, penulis segara mengamati barang-barang dagangannya. Sekali lagi rasa aneh bercampur heran menghinggapi batin penulis Bagaimana tidak! Ternyata, dagangan si kakek berupa sandal dan sepatu-sepatu bekas yang modelnya lama sekali Atau bahkan kuno dan sudah tidak beredar lagi di pasaran.

 

Sambil coba mengendalikan perasaan, penulis pun sempat mencoba sebuah sepatu kulit warna coklat yang nomornya kira-kira sama dengan ukuran kaki penulis.

 

“Kalau yang ini, kira-kira dijual berapa, Pak?” Tanya penulis.

 

“Ya, murah saja, Cep. Tawar saja!” Jawab si kakek sambil menutupi wajahnya dengan topi. Kadang pula dia menutup wajahnya yang renta itu dengan sehelai koran yang nampak sangat usang.

 

Sayangnya, Ukuran sepatu itu tertalu kecil, sehingga penulis urung membelinya. Namun, obrolan di antara kami masih berlanjut.

 

“Sudah lama Bapak berjualan sepatu di sini?” Tanya penulis sembari duduk di teras gedung yang menjorok ke trotoar itu.

 

“Ya, sudah hampir satu setengah tahunan ini, Cep. Tapi sebenarnya tidak setiap hari juga Bapak berdagang di sini, Hanya pada hari-han tertentu saja. Itupun biasanya Bapak lakukan pada saatsaat han menjelang sore. Ya, seperti sekarang inilah,” jawabnya dengan aksen Sunda yang kental.

 

“Tapi, sebelumnya maaf ya, Pak. Inikan gedung bersejarah dan berada tepat di pusat kota. Mungkin sangat jarang sekali orang lewat di depan sini. Maksud saya, apakah akan ada pembelinya? Atau apakah selama ini tidak ada pihak pihak yang menegur ataupun melarang Bapak berjualan di sini, sebab setahu saya di sini memang tidak boleh ada kaki lima?” Tanya penulis penuh penasaran.

 

Malangnya, belum sempat si kakek menjawab pertanyaan penulis yang bertubi-tubi itu, dari arah jalanan yang membentang tepat di depan gedung yang sebagian terasnya langsung menjorok ke aspal dan trotoar, tiba-tiba saja muncul sebuah mobil jenis kijang berwarna silver, Kendaraan ini langsung menepi dan berhenti tepat di depan kami.

 

Dari balik kemudi, sang pengendara mobil dengan isyarat tangannya seperti memanggil si kakek. Melihat isyarat itu, si kakek dengan tenangnya segera menghampiri si pengendara yang ternyata seorang pria sangat gagah.

 

“Ini untuk Bapak, ya!” Ucap laki-laki di dalam mobil itu singkat, seraya memberikan selembar uang kertas nominal limapuluh ribu. Setelah itu, dia segera berlalu. Si kakek menerima uang itu, lalu memasukkannya ke dalam kantong bajunya yang lusuh. Setelah itu dia pun kembali duduk di tempatnya yang tadi.

 

“Siapa orang itu, Pak?” Tanya penulis dengan penuh heran.

 

Si kakek menghela nafas berat. Kemudian dia berkata dengan untaian kalimat bak seorang resi. Begini katanya, “Sebenarnya, Bapak berjualan barang barang loakan seperti ini, di sini tidaklah semata untuk mencari uang. Malainkan hanyalah menjalankan tugas dari Tuhan Yang Maha Kuasa, yaitu untuk dapat menilai orang. Karenanya, aparat pemerintah atau pihak kepolisian di sini, tidak akan pernah ada yang berani melarang, karena tugas Ini semata diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Kuasa!”

 

“Maksud, Bapak?” Tanya penulis sambil menatapnya dengan tajam.

 

“Ya, sebagaimana yang sempat Encep lihat secara langsung tadi. Bahwa meskipun di sini Bapak mustahil akan mendapat pembeli, namun yang namanya rezeki bisa datang kapan dan darimana saja,” jawabnya, polos.

 

Penulis hanya bisa melongo, tersentuh oleh kepasrahan hidup si kakek yang penuh dengan keyakinan itu. Di balik itu semua, naluri penulis mengatakan bahwa sosok yang tengah berhadapan dengan penulis ini sesungguhnya bukanlah manusia sembarangan.

 

Hingga menjelang Maghrib, penulis masih setia bersamanya. Mungkin karena kesetiaan penulis, atau mungkin karena sesungguhnya dia dapat membaca apa yang penulis pikirkan, akhirnya si kakek mencentakan suatu hal yang amat musykil. Ya, si kakek mengaku bernama Wirasakti. Dia telah berusia 106 tahun, jadi jauh dari dugaan penulis di awal yang menyangkanya baru berusia 70-an tahun. Tak hanya itu, si kakek juga menyebut dirinya mengemban sebuah tugas suci baik yang langsung diberikan oleh Sang Khaliq, maupun titipan amanat dari para sepuh leluhurnya.

 

Namun, ada salah satu pengakuan yang membuat penulis tercengang, heran, sekaligus menanggapinya dengan hati berdebar-debar. Berulangkali, si kakek menegaskan bahwa Sang Proklamator kita, Bung Karno, masih hidup.

 

Tak hanya itu, selama hidupnya si kakek menyebut dirinya sempat tiga kali bertemu muka dengan Bung Karno, yaitu pada tahun 1960, 1970 dan 1980, Bahkan, dia mengaku pernah menolong Bung Kamo.

 

“Pada tahun 1960-an, untuk pertama kalinya Bapak sempat bertemu dengan Paduka, dan sekaligus menolongnya. Persisnya pada saat beliau sakit. Lalu pada tahun 1970-an dan terakhir tahun 1980. Pada waktu itu, Bung Kamo sengaja saya panggil dari atas, dan beliau pun nampak hitam sekali raut wajahnya!” Tegas sang kakek yang pendengarannya masih tajam itu.

 

Dia pun sempat menambahkan bahwa, semenjak pertemuan terakhirnya, dirinya merasa sangat kehilangan jejak Sang Proklamator. Kendati begitu, dia tetap yakin kalau Bung Karno itu masih hidup dan bisa menemui siapa saya di waktu-waktu sekarang ini.

 

Dia mengaku sempat terpanggil untuk mencoba mengobati Bung Kamo, karena memang mewarisi ilmu-ilmu pengobatan dari para sesepuh.

 

“Ilmu-ilmu tersebut semuanya saya warisi dari kedua orangtua, serta diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, tegasnya lagi.

 

Obrolan penulis dengan kakek misterius yang menolak difoto ini berlangsung hingga tiba waktu Maghrib. Malamnya, penulis gelisah memikirkan siapa gerangan sesungguhnya kakek itu?

 

Karena tak ingin terus didera rasa penasaran, keesokan harinya, penulis sengaja kembali ke tempat itu untuk menemui si kakek. Ternyata, dia tak ada di sana.

 

Anehnya, ketika penulis menanyakan pada sejumlah pegawai gedung, dan orang-orang yang biasa mangkal di sekitar sana, tak seorang pun yang mengaku pernah melihat kakek itu. Lantas, siapakah dia sesungguhnya? Sebuah pertanyaan yang sulit terjawab. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: susuk.online
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Kisah Kyai Pamungkas: Bertarung di Lawang Sewu

adminruqyah

Ngaji Psikologi Bersama Kyai Pamungkas: LEARNING WITHOUT SCHOOLING

KyaiPamungkas

Layanan Kyai Pamungkas: RUWAT AURA UNTUK BUANG SIAL

KyaiPamungkas
error: Content is protected !!