Kisah Kyai Pamungkas: KUNTILANAK DI POHON JAMBLANG
Jantungku bergetar hebat tatkala aku melihat bayang-bayang melintas di dapurku. Bayangan perempuan menggendong bayi, memakai jarik, kain batik Solo dan kain gendongan lusuh, melintas dari kamar mandi menuju pintu dapur…
“Siapa kamu?” pekikku, beberapa saat setelah kaget dengan nyali menciut. Bayangan itu diam saja, menghambur ke luar pintu.
“Hei, ke mana kamu, siapa kamu sebenarnya?” tanyaku, setengah takut.
Malam itu hanya aku sendirian di rumah. Sebuah rumah baru yang kami tempati setelah suamiku pensiun. Rumah lama kamu di Cempaka Putih Timur XII, kamu jual Rp 2 milyar lalu kami pindah ke luar kota. Membeli rumah model Paseo de Garcia, gaya Spanyol di Karang Tengah, Cileduk, Kota Tangerang, Banten.
Karena tidak mau nganggur setelah bebas tugas, suamiku bisnis batubara di Tenggarong, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Suamiku bekerja sama dengan Ronny Doger, 56 tahun, usahawan Tenggarong yang sudah lama “main” bisnis di batubara. Kami investasikan uang beberapa milyar dari penjualan rumah di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Sisa dari pembelian rumah baru di Karang Tengah, perbataan Jakarta Barat dengan provinsi Banten tersebut, yang kami tempati saat ini.
Dua anak kami, Lolita dan Anjani, semua bekerja di luar negeri. Lolita di Michigan City, Amerika Serikat, sedangkan Anjani di Amerika. Karena tidak mau menggunakan pembantu, maka sejak pindah rumah, aku selalu sendiri di rumah apabila suamiku mengurus bisnis di Tenggarong, Kalimantan Timur.
Malam itu, adalah malam Jumat Kliwon, tanggal 5 Juli 2013. Usai sembahyang magrib, aku membaca Al Our’an, surat yasin, sebagaimana dulu, rutin aku lakukan saat kami tinggal di Jakarta Timur. Membaca surat yasin dan ratusan Surta al fatihah yang aku kirimkan untuk almarhum ibuku, ayahku, adikku dan famili-familiku yang telah mendahuluiku.
Setelah membaca surta-surat itu, aku lanjutkan sembahyang isya. Habis isya aku kelaparan dan mau membuat mie instan di dapur. Sebelum aku menyiapkan kompor gas dan mie instan, aku melihat bayangan itu. Bayangan mengejutkan dari seorang ibu tua sedang menggendong bayi. Langkahku langsung terhenti dan aku tersentak kaget.
“Siapa kamu?” hardikku. Namun, bayangan itu hanya diam dan langsung berlalu. Menghilang ke pentu dapur dan raib ke pohon jamblang di belakang rumah.
Jantungku terus berdegub kencang karena takut. Guncangan jantungku membuat aku menelpon suamiku, Bang Rahmadi Tapsin di Tenggarong. Kuceritakan apa yang aku lihat dan suamiku tertawa terpingkal-pingkal, bukan prihatin kepadaku yang ketakutan.
“Mana ada hantu di rumah kita Ma? Apalagi hantu perempuan tua menggendong bayi, enggak ada itu? Mama tersugesti pada cerita majalah yang Mama baca barangkali, sehingga Mama ketakutan lalu terhalusinasi seakan ada hantu di sekitar Mama. Sudah tenang aja, tidur saja yang nyenyak, besok Papa pulang,” kata suamiku di seberang sana, dari Hotel Alium Tenggarong, kepadaku.
“Papa ini bagaimana sih? Istrinya ketakutan, meminta pertolongan, malah ditertawakan? Pakai perasaan dong Pa?” bentakku, memarahi suamiku.
Malam itu aku tidak dapat tidur. Semua lampu aku nyalakan padahal kami sepakat untuk berhemat energi listrik sejak suami pensiun. Mataku aku pejamkan tapi pikiranku terbayang-bayang kepada sosok ibu-ibu yang menggendong bayi itu. Jujur saja aku ketyakutan sekalik malam itu.
Untuk minta bantuan orang agar dapat menemaniku, aku tidak bisa. Sebab aku penduduk baru di Kampung Enclek, Karang Tengah dan belum kenal siapapun. Lurahnya aku kenal baik, saat membeli rumah itu. Tapi masak aku minta temani Pak Hidayat, lurah yang juga pemain sepakbola Cileduk FC itu?
Tidak, aku harus berani. Malam ini aku harus lewati dan aku mesti berani
mengnagapi apapun. Jangankan Nadlilu, pikirku, menghadapi rampok pun, aku harus berani. Aku punya pistol FN kaliber 22 Demchees dan telah belajar menembak jitu. Jika ada ramok, aku bisa menembak dan bisa bertarung sampai tetes darah penghabisan. Tapi, menghadapi hantu, pakai senjata apa dan bagaimana cara bertempur dengan hantu, aku tidak tahu ilmunya. Senjata apa yang digunakan selain bacaan ayat-ayat Al Qur’an seperti Ayat Kursy, Al Falaq dan An Nas?
Jam di dinding menunjukkan pukul 23.45 Waktu Indoensia Bagian Barat. Tiba-tiba terdengar suara bergemuruh dari arah dapur ku. Mirip suara geledek dan petir di pohon jamblang. Dengan sisa sisa keberanian yang ada, aku mengambil senter 16 baterei di lemari pakaian berikut pistol FN dan aku mengahmbur ke dapur. Saat kusenteri, jantungku berdetak makin tak menentu di mana di sana aku melihat ibu-ibu tadi sedang memberi minum bayinya. Dia – memberikan dot plastik berisi susu darah, merah, kepada bayinya. Darah siapa itu yang diberikan ke bayinya? Batinku, bertanya-tanya.
“Maaf Bu, ibu siapa dan ada apa di rumah saya ini?” tanyaku. Si ibu tidak menjawab sepatah katapun. Dia acuh tak acuh kepadaku dan terus memberi susu darah kepada bayi dalam gendongannya. Dia tidak melihat dan tidak mendengarkan aku. Namun senter terus aku arahkan ke mukanya yang pucat pasi, putih seperti kertas tulis.
“Maaf, ibu ini siapa dan emngapa di sini?” sorongku pula, tanpa menghiraukan bahwa dia tidak akan menjawabku. Dengan diberani-beranikan, aku agak mendekat. Melaju beberapa langkah ke depan. Begitu agak dekat, ibu itu lalu duduk bersimpuh di kakiku masih memegangerat bayinya. Darah yang ada di dalam botol susu lalu tumpah dan aku melihat darah kental berceceran di dapurku.
“Aku adalah Rustini, bayiku ini bayi perempuan yang membutuhkan belas kasihan. Aku dan bayiku tinggal di pohon jamblang di belakang rumah ini. Tolong jangan dipotong pohon itu, biarkan rumah kami itu berdiri hingga alam akan mematikannya. Aku sudah meninggal 34 tahun lalu dan bayiku berumur setahun, butuh susu darah, minuman darah dan darah yang dimun darah ayam cemani, ayam serba hitam dan tolong disiapkan. Jika ibu membantu kami, kami akan membantu ibu. Saya menjaga harta karun di bawah pohon Jamblang itu, dan harta itu hanya untuk ibu bila ibu secara rutin memberikan kami darah ayam cemani,” pintanya, setengah senggukan. Dia nyaris menangis.
Aku berdiri tertegun melihat dia merangkak mencium kakiku. Aku lalu mengusap rambutnya yang lusuh, tetapi tidak dapat terjamah. Tanganku seperti memegang angin. Namun, aku berjanji kepadanya, akan menyediakan darah ayam cemani setiap malam Jumat Kliwon, seprti yang dipintanya. Aku tahu tempat di mana membeli ayam serba hitam itu. Darahnya diambil dan dagingnya boleh aku makan. Digoreng, dipanggang atau digulai, tidak masalah. Dia hanya membutuhkan darah ayam hitam itu dan aku memakan dagingnya.
Tengah malam itu arwah Rustini bersepakat denganku. Aku menyediakan darah ayam cemani sedangkan dia membuka harta gaib yang ada di pohon jambalng umur ratusan tahun itu. Harta gaib yang ada di situ, disebut Rustini berbentuk emas batangan. Jumlahnya sangat banyak walau dia tidak memberi tahukan jumlah nominalnya.
“Baik, kapan aku bisa mendapatkan harta gaib itu?” tanyaku.
“Tidak bisa sekaligus, boleh diberikan secara bertahap. Malam ini juga, aku akan memberikan kepadamu sebagian kecil dari benda gaib itu. Tapi tolong besok malam siapkan darah ayam cemani. Dan malam Jumat Kliwon bulan depan, siapakan yang banyak. Tujuh darah ayam cemani. Besok cukup satu, sebagai ikatan perjanjian keramat kita malam ini jadi,” katanya.
Pukul 01.35 WIB, Rustini mengajak aku ke pohon jamblang. Ada rasa takut tapi aku membunuh rasa takut itu. Kutahan rasa ngeri itu dengan menggenggam pistol di tangan kanan. Jika ada apa-apa, aku diserang, maka aku akan menembak. Pistol FN ku sudah ada peluru dan siap dimuntahkan untuk siapapun, tak terkecuali buat hantu Rustini itu, batinku.
Dengan langkah gontai Rustini dan bayinya keluar dari pintu dapur. Dia mampu menembus pintu yang terkunci rapat.
Sedangkan aku tidak, aku harus terlebih dahulu membuka pintu itu dengan anak kunci di tanganku. Setelah terbuka, aku melihat pohon jamblang dan Rustini ada di bawahnya.
“Kemarilah Bu,” ajaknya.
Aku mendekat ke pohon jamblang dan Rustini menghilang ke dalam tanah, pas di akar terbesar dari pohon Jamblang itu.
Beberapa saat kemudian, Rustini muncul lagi dengan bayinya dan menggenggam tiga batang benda berwarna kuning. Benda. itu ternyata emas murni 24 karat dan diberikannya padaku.
“Tolong, hal ini jangan diberi tahu kepada siapapun, termasuk kepada suami ibu sendiri. Ingat, jangan beri tahu orang lain, hanya ibu seorang yang tahu. Jika suami ibu diberi tahu, akan sangat berbahaya bagi ibu. Saya akan marah dan ibu akan binasa di rumah ini,” ancamnya.
Tiga batang emas itu aku ambil dan kubawa ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian, Rustini dan anaknya masuk lagi ke tanah dan raib dari pandanganku. Setelah masuk rumah aku kunci lagi pintu dapur dan aku membawa emas itu ke kamar tidurku.
Besok paginya, hari Jumat pagi aku naik taksi ke toko emas langgananku, Om William di Pasar Senen, Jakarta Pusat. Aku terentak kaget karena Om William bilang bahwa itu emas murni 24 karat dan berharga Rp 10 milyar. Lewat Om William, aku menjual emas itu dan uangnya aku masukkan deposito BCA di mana rekening bank ku aku gantungkan. Om William kuberi jatah sebagian kecil dan aku diantarkannya ke Bank BCA untuk memasukkan uangku dari dunia gaib itu. Om William aku pesankan, jangan sampai memberi tahu suamiku, Bang Rahmadi Tapsin yang juga teman baik Om William. Om William berjanji untuk merahasiakan hal itu dan aku berjanji untuk selalu membagi jatah untuknya. Ketika dia bertanya dari mana emas itu datang, aku memberi tanda tutup mulut kepadanya dan jangan bertanya soal itu sampai kapanpun.
Bang Rahmadi Tapsin, suamiku, tidak tahu Menahu soal rekeningku. Dia tidak pernah men-check dan tidak pernah pula bertanya perihal rekening bankku. Mau rekening gendut atau kurus, dia tidak mempersoalkannya. Aku buka rekening BCA sedangkan Bang Rahmadi Tapsin di Bank Mandiri, bank pemerintah.
Sore hari aku baru sampai di rumah. Aku diantarkan oleh taksi Blue Bird berkeliling kota untuk urusan emas batanganku itu. Sesampainya di rumah aku bayar taksi lebih untuk Rusmin, sopir taksi itu dan aku segera masuk mandi air panas. Sementara ayam cemani yang ada di dalam keranjang bambu, aku keluarkan untuk aku sembelih dan darahnya akan aku berikan untuk Rustini di pohon Jamblang.
Setelah mandi aku sembahyang ashar dan berzikir panjang. Usai zikir dan sholat, aku kembali ke pohon Jamblang untuk mengucapkan terima kasih kepada Rustini dan meletakkan darah ayam cemani yang baru aku sembelih di dalam botol air minera besar. Setelah aku memanggil Rustini dan dia diam saja, aku berdiri meninggalkan darah di pohon Jamblang itu. Beberapa saat kemudian, aku melihat kembali ke botol air mineral, Duh Gusti, aku tersentak lagi. Darah itu langsung habis, botol menjadi kosong.
Pikirku, Rustini sudah meminumnya dan meminumkan darah itu untuk anaknya. Malam harinya, pukul 20.30 suamiku datang Dia baru saja sandar di bandara Soekarno Hatta dan naik taksi ke Karang Tengah, ke rumah kami. Aku dan suami tentu saja berpelukan erat dan kami makan malam bersama.
Makan ayam cemani panggang kering yang aku campurkan dengan asem pedas. Suamiku sangat lahap menikmati daging ayam cemani yang gurih itu, sementara aku hanya sedikit. Aku tidak begitu menikmati karena ingat darahnya yang telah diminum oleh Rustini, kuntilanak, atau arwah penasaran yang menjadi kuntilanak penghuni popon Jamblang di belakang rumah kami.
“Daging ayam ini kok tumben, enak sekali ya Ma? Ayam apaan sih ini Ma?” tanyanya, sambil tahap menggigit daging ayam berberat satu kilo gram itu.
Aku menghindar untuk menyebut bahwa itu daging ayam cemani. Sebab ayam cemani sudah diketahui banyak orang bahwa itu ayam mistik. Ayam alam gaib yang digunakan untuk ritual memanggil jin, kuntilanak dan genderuwo yang hidup di sekitar manusia. Bila kukatakan sesungguhnya, Bang Rahmadi Tapsin pasti curiga. Dia akan mencecar aku dengan banyak pertanyaan. Akibatnya, berabe, dia akan tahu bahwa aku sedang berhubungan dengan dunia mistik.
“Ayam kampung biasa Pa. Ayam kampung yang Mama beli di pasar Bengkok, Kunciran, tadi pagi,” kataku, membodohinya.
Berbohong untuk kebaikan kami. Aku sangat menjaga perjanjian gaib dengan kuntilanak, arwah Rustini di pohon jamblang. Jika suamiku tahu, akan sangat berbahaya bagiku. Bukan saja tidak diberikan emas kekuasaan gaib miliknya, tapi bisa juga mati dicekiknya. Untuk itu, aku harus merahasiakan hal itu dengan sangat tertutup dan ketat.
Hampir sebulan Rustini tidak menampakkan diri. Aku sudah berani keluar rumah malam hari untuk mendatanginya ke pohon Jamblang. Tapi, sejauh itu, Rustini tidak muncul dan aku tidak menemukannya. Jangankan wujudnya yang nampak, suaranya pun, tidak bisa aku dengarkan.
Malam Jumat tanggal 9 Agustus 2013, tepat malam hari raya ke dua, 2 Syawal 1434 Hijriah, tengah malam, aku Mendengar gemuruh di belakang dapurku. Suara angin kencang yang mengayun Pohon hingga berbunyi gemeretak. Gesekan antara dahan ke dahan pohon mangga Sebelah pohon Jamblang.
Darah tujuh ayam cemani, dalam jeriga besar telah aku siapkan di dalam gudang. Suamiku tidak melihat itu dan dia tidak curiga. Pukul 24.00 aku memberikan jerigen darah ayam hitam itu ke pohon Jamblang Beberapa saat kemudian, Rustini dan bayinya keluar dari tanah dan Memberikan enam batang emas kepadaku. Buru-buru aku menyimpan emas itu di kamarku, untung suamiku ngorok dan tertidur lelap, dia tidak tahu sama sekali tentang emas di lemariku. Setelah mengisap darah dalam jerigen besar, kuntilanak Rustini menghilang ke dalam tanah lagi.
Tiga hari setelah lebaran, suamiku berangkat ke Tenggarong lagi. Aku mengantarkannya di depan rumah. Setelah taksi membawanya berangkat, aku berangkat ke Om Wiliam di Senen dan menjual emas itu. Uang sejumlah Rp 15 milyar aku masukkanlah lagi ke reningku dan tabunganku pun semakin gendut.
Namun sayang, di luar dugaan, pada Malam Jumat, 13 September 2013, pohon Jamblang berhantu itu dihantam petir dan mati. Pohon langsung terbakar dan tumbang ke tanah. Aku memanggil nama Rustini tapi Rustini dan bayinya tidak muncul lagi hingga kini.
Angka 13, tanggal 13 September, kepercayaan Tiongkok, angka tidak bagus dan chiong, amsiong, sial, maka malam itu adalah petaka telah mengancurkan harapanku. Rekeningku ternyata tidak sampai trilyun seperti yang kubayangkan. Syahdan, emas itu, hingga sekarang tidak bisa diangkat oleh Siapapun. Dan arkian, yang paling menyedihkanku, Rustini dan bayinya, tidak aku temukan lagi sampai Sekarang. Dia ada di mana dan pindah ke mana, tak ada seorang pun yang mengetahuinya.
Maka itu, sejak tanggal 13 September 2013 hingga Februari 2015 ini, tidak ditemukan lagi. Ke mana dan ada di mand Rustini, hanya Allah Azza wajalla yang tahu. Dan rejeki gaibku, hanya berhenti di situ. Aku ambil hikmah positifnya, bahwa manusia tidak boleh serakah dan tamak. Alhamdulillah, aku telah mendapatkan harta gaib yang cukup untukku bisnis jual beli mobil di sebuah show room mobil buatan Korea Selatan, Daewoo dan Ilchiro. Terima kasih Tuhan, terima kasih Rustini.
(Kisah Nyonya Rahmadi Tapsin, kepada penulis). Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: susuk.online
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)